Pemulung Nenek Muniati Berharap Dapat Bantuan Dari Pemerintah.




realitasnews.net -- Makassar -- Dikala panasnya mentari menyengat, seakan membakar kulit sekujur tubuh. Sontak, seorang perempuan tua dengan langkah tertatih-tatih, menyusuri trotoar di batas kota jalan poros Makassar - Maros.

Perempuan tua itu bernama, Muniati, usianya 70 tahun, dengan kain lusuh kotak-kotak ungu dan celana cingkrang warna hijau, dengan topi tani yang setia dipakainya guna melindungi kepalanya dari teriknya matahari. Sembari berjalan beralaskan sandal jepit tua, dan sesekali mendorong trolinya yang berisi sampah plastik dan non organik lainnya.

Nek Ati (begitu sapaan akrab Nenek Muniati), Ia mengaku, usianya yang sudah senja itu, masih semangat mendorong gerobak atau troli yang diisi dengan barang rongsokan.

"Jadi barang bekas ini, berupa plastik-plastik bekas, seperti gelas plastik bekas air mineral, Sprite, coca cola, teh botol dan lainnya yang sengaja dikumpul dalam karung, lalu dijual ke pengumpul," katanya.

Lanjut Nek Ati menceritakan, demi menghidupi keluarganya, dia harus berjuang dibawah sengatan panasnya mentari, sebab pekerjaan inilah satu-satunya sebagai tumpuan harapannya. 

"Inilah satu-satunya pekerjaan halal yang bisa saya kerjakan, guna menyambung hidup bersama keluargaku," ungkapnya Sambil matanya tetap cermat menoleh ke kiri dan kanan untuk mencari barang-barang bekas yang bisa dikumpulkannya.


Nenek Muniati mengkisahkan, dirinya punya anak 3 orang, meninggal satu orang. Ia mengaku berasal dari sebuah desa terpencil  di Kabupaten Sinjai, tapi setelah menikah pindah ke Bulukumba dan sekarang berdomisili di Mandai Maros karena suaminya adalah asli orang Batangase

Nek Ati kembali menuturkan,  bahwa dirinya sudah 30 tahun tinggal di Mandai sedangkan profesi sebagai pemulung alias payabo sudah dilakoni sekitar lima tahun.

"Alhamdulillah, kini dirinya bisa sedikit menambah - nambah biaya kebutuhan sehari-hari," tuturnya.

Sambung Nek Ati bercerita, pekerjaan begini dia jalani dari pagi hingga sore atau sampai gerobak itu penuh, karena kalau sudah kelebihan muatan, dia mengakui, sudah tidak sanggup lagi mendorongnya, tapi kalau memasuki siang hari pulang dulu ke rumah untuk memasak bagi keluarganya.

Suami Nenek Muniati,  bekerja sebagai buruh tani / sawah pada seorang tuan tanah sawah. Namun,  kata Nek Ati,  tidak lama lagi si tuan tanah akan menjual sawah itu kepada seorang Depelover yang nantinya akan dibangun perumahan.

Kisah Nek Ati, mirip kisah syair dalam satu bait lagu Iwan Fals yang berjudul  Ujung Aspal Pondok Gede : ..."Sampai saat tanah moyangku, 
tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota.  Terlihat murung wajah pribumi.  Terdengar langkah hewan bernyanyi."......

"Kami hanya bisa pasrah jikalau nanti sewah tempat dia menggarap sudah dijual oleh si tuan tanah," ungkapnya sedih.

Harapan Nenek Muniati kepada pemerintah, agar peduli sama nasib mereka, karena bantuan-bantuan dari Pemerintah tidak pernah dia terima. 

"Jadi mohon kepada pemerintah agar Sudi kiranya memberikan bantuan kepada kami yang orang tidak mampu ini, sebab belum ada bantuan pemerintah yang kami terima," ungkapnya sambi berharap. (Luppix/rn-mks)

Posting Komentar

0 Komentar