Dilematis Pembangunan Kota Antara Ramah Lingkungan Dan Pencemaran Lingkungan


Dilematis Pembangunan Kota Antara Ramah Lingkungan Dan Pencemaran Lingkungan, jika keduanya tak mampu disejajarkan dalam pembangunan, maka kasus pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat dari pembangunan. Seperti beberapa hal diantaranya, banjir, longsor, air sungai yang terkena limbah, rusaknya pepohonan di hutan, dan spesies hewan yang nyaris punah karena daerahnya dirusak. Oleh karena itu, manusia harus benar-benar memperhatikan lingkungan di sekelilingnya agar tidak menimbulkan dampak buruk yang lebih besar ketimbang manfaatnya. 


Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang tidak merusak lingkungan sekitar. Namun kenyataanya, apa yang diproyeksikan di masa depan menjadi ekonomi terbesar keempat pada tahun 2050, Sebut saja, pertumbuhan ASEAN yang mengesankan terus tercermin dalam cakrawala kota yang selalu berubah.

Apa yang Dimaksud Membangun Kota Berkelanjutan Dengan Pembiayaan Hijau “Ramah Lingkungan” ?

Dampak baik dari pembangunan sangat dibutuhkan negara berkembang untuk kemakmuran penduduknya. Khusus di Indonesia, salah satu upaya Indonesia menjadi negara maju adalah meningkatkan pembangunan di daerah terpencil atau daerah perbatasan. Manfaat sektor industri bukan hanya bagi sektor pertanian, tetapi juga penting bagi masyarakat. Barang-barang seperti pakaian, makanan, kendaraan pribadi dan sebagainya adalah jenis-jenis kebutuhan manusia yang dapat dihasilkan dari sektor industri. Terutama sektor industri barang.

Disisi lain, dampak buruk dari pembangunan tidak terlepas dari pengolahan limbah industri yang buruk dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, Sebutlah pencemaran air, tanah, maupun udara. Akibatnya, warga yang tinggal di lingkungan sekitar akan ikut tercemar dan terserang berbagai macam penyakit. 

Word Health Organization (WHO) mencatat banyak pabrik industri yang menimbulkan polusi udara, diperkirakan telah menyebabkan 4,2 juta kematian pada tahun 2016. 3,8 juta orang diperkirakan meninggal selama periode waktu yang sama karena polusi udara pabrik industri yang disebabkan oleh hasil produksi di pabrik dengan bahan bakar polutan seperti solar dan lain-lain.

Namun, beda dengan konsep perusahaan seperti HITACHI, yang memiliki sejuta argumen tentang Pembangunan Kota yang Hijau Ramah Lingkungan, ia melansir ketika Asia Tenggara memulai investasi yang lebih besar dalam infrastruktur dan bangunan, kawasan juga harus menghadapi dampak yang semakin besar ini terhadap lingkungan. Khususnya, bangunan sekarang menyumbang hampir 40% dari emisi CO2 global tahunan.

Dilansir dari Website, HITACHI Inspire the Next, bahwa untuk meniadikan dampak lingkungan yang cukup besar dari infrastruktur, kota-kota di Asia Tenggara harus menetapkan tujuan pembangunan ramah lingkungan yang ambisius dan, yang paling penting, berkomitmen untuk mencapainya. Sama seperti Singapura, pemerintah telah menetapkan target nasional untuk mencapai 80% bangunan ramah lingkungan pada tahun 2030.

Salah satu aspek penting untuk membuat tujuan ini dapat dicapai adalah menciptakan jalur yang dapat diakses untuk pendanaan proyek-proyek berkelanjutan – khususnya, melalui pinjaman hijau “ramah lingkungan” yang menawarkan penurunan suku bunga untuk bangunan dan rumah yang lebih ramah lingkungan.

Ditugaskan oleh Building and Construction Authority (BCA) Singapura, Hitachi telah mengembangkan seperangkat alat penilaian pembiayaan hijau yang mudah digunakan untuk membantu berbagai pemangku kepentingan dalam melakukan transisi hijau, dan karenanya mendukung pembiayaan hijau di Singapura.



Pendanaan Berkelanjutan Skyline di Singapura

Lebih jauh, pihak HITACHI menggambarkan, saat ini, pembiayaan hijau mengalami pertumbuhan yang luar biasa, dengan tahun 2021 menjadi tahun yang memecahkan rekor untuk pasar keuangan berkelanjutan.

Bahkan ketika lebih banyak pilihan berkelanjutan seperti itu tersedia, pemilik bangunan mungkin merasa sulit untuk memulai proses mengamankan pinjaman hijau. Secara tradisional, memperoleh sertifikasi bangunan hijau yang relevan agar memenuhi syarat untuk pinjaman hijau sering membutuhkan konsultan eksternal dan mungkin memakan waktu selama beberapa minggu. Selain itu, diperlukan pengetahuan yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi energi bangunan guna memenuhi persyaratan kelayakan ini.

"Untuk mengatasi masalah ini, Hitachi telah mengembangkan alat Penilaian Efisiensi Energi Bangunan (BEEA)," tulisnya.

Duduk di dalam Smart Hub Super Low Energy Building (SLEB), BEEA adalah alat penilaian mandiri online cepat dan sederhana yang memanfaatkan AI untuk menilai tingkat efisiensi energi bangunan secara cerdas dalam hitungan menit. Alat ini juga memberikan wawasan dan langkah yang dapat ditindaklanjuti untuk meningkatkan efisiensi energi gedung mereka.

Dari sini, laporan yang dihasilkan kemudian dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman hijau dengan lembaga keuangan mitra seperti OCBC Bank.

Saat ini, BCA bekerja sama dengan Bank OCBC, yang kini memanfaatkan alat BEEA untuk menilai kelayakan pinjaman hijau dari pemilik bangunan, pengembang, dan bisnis di seluruh rantai nilai properti.

Pengembang dalam tahap perencanaan awal proyek pengembangan, serta pemilik bangunan yang ada, juga dapat dengan bebas menggunakan alat ini untuk lebih memahami dan meningkatkan efisiensi energi gedung mereka sesuai kebutuhan, apakah mereka berniat untuk mengajukan pinjaman hijau atau tidak.
(NS : https://social-innovation.hitachi/id-id/innovationhub/sustainable-cities-with-green-financing/?utm_campaign=FY22ID&utm_source=YahooNative&utm_medium=CWGF_Static&WT.mc_id=22media  )

Posting Komentar

0 Komentar