Klaim Tanah Warisan Di Pampang 4 Makassar Kembali Digaruk

Laporan Investigasi Tim Realitas News

realitasnews.net -- MAKASSAR -- Klaim atau Pengakuan hak atas sesuatu hal oleh seseorang atau masyarakat haruslah didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah dan kuat, salah satunya adalah hak atas tanah dan rumah. Tanpa bukti hak tertulis, maka seseorang atau masyarakat tidak dapat serta-merta membuat pernyataan atas hak kepemilikan tersebut. Hal tersebut diatur dan diberlakukannya Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5, Tahun 1960, masyarakat dapat mengenal beberapa jenis kepemilikan hak atas tanah, diantaranya adalah hak menguasai dari negara, hak ulayat dari masyarakat adat/komunitas adat dan hak-hak perseorangan (orang dan badan hukum).

Kasus tanah yang terjadi pada tanah warisan di Pampang 4, Kelurahan Pampang, Kecamatan Panakkukang - Makassar menuai polemik, antara pihak Ahli Waris Hamsinah, SP. bersaudara pada surat pendaftaran hak tanah milik sementara atas nama Dalia binti Sangkala, persil 15 D2 kohir 403CI tahun 1959 yang dimilikinya secara sah dan asli. Dengan pihak pengklaim, Setiadi. Kabarnya, kata Hamsinah, surat sertifikat tanah yang dipegang oleh Setiadi tidak berdasarkan alas hak atas nama Dalia binti Sangkala.

Lanjut Hamsinah menceritakan, pengklaim tanah warisan di Pampang 4, Kelurahan Pampang, tersebut spontan datang bersama oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) dikawal oleh aparat kepolisian yang cuma ingin mengukur dan mematok, diatas lokasi tanah berdasarkan surat pendaftaran hak tanah milik sementara atas nama Dalia binti Sangkala, persil 15 D2 kohir 403CI tahun 1959. Menurut salah seorang ahli waris, Hamsinah, SP., tanah atau lahan tersebut tidak pernah dijual kepada siapapun.


Hebohnya, kata Hamsinah, pada Rabu, 17/11/2021, sekira pukul 10.00 wita, si pengklaim tersebut membawa oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) dikawal oleh aparat kepolisian yang melarang memfoto Surat Perintah yang diakuinya sebagai Surat Perintah untuk mematok dan mengukur lahan tersebut.

"Saya meminta agar mohon difoto Surat Perintah mematok dan mengukur tersebut, kepada Polisi dan BPN tersebut, tapi mereka tak mau. Padahal, yang saya tahu bahwa surat perintah itu harusnya dikeluarkan oleh pihak Pengadilan. Inikan aneh kenapa ada surat perintah yang dikantongi, sementara kasus tanah ini belum masuk pada rana pengadilan," ungkapnya.

Untungnya, tambah Hamsinah, dirinya cepat menghubungi pihak Pengacara kami lewat via telepon, lalu pihak pengacara kami memberikan jawaban, agar jangan dilakukan dan lanjutkan pematokan serta pengukuran diatas tanah tersebut.

"Alhamdulillah, spontan juga pihak polisi dan BPN tersebut berhenti dan pulang bersama rombongannya sekira 50 orang. Artinya, jika hal tersebut tidak dapat dibuktikan dengan surat-surat tanah yang sah, lantas melakukan pemaksaan pematokan dan pengukuran, maka dapat disebut dengan penyerobotan tanah, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51, Tahun 1960, tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya," ulas Hamsinah mengutip pernyataan hukum pengacara.

Sambung Hamsinah menjelaskan, beberapa waktu lalu, sekira tahun 2020 pihak yang mengklaim itu sudah pernah melapor ke polisi. Namun, kata ahli waris dari pemiik tanah tersebut, ia sudah memenuhi panggilan polisi. Namun, tidak ada penyelesaian. Karena kami dari pihak ahli waris bersikeras bahwa tanah itu tanah adat, tanah turun temurun. Berdasarkan surat pendaftaran hak tanah milik sementara atas nama Dalia binti Sangkala, persil 15 D2 kohir 403CI tahun 1959. Dan ahli waris tidak pernah menjual kepada siapapun.

"Sementara, pihak yang mengklaim tanah itu, memegang sertifikat nomor 20470 dan 20466 berdasarkan alas hak IPEDA atas nama Baso bin Amang dengan persil 15 DII kohir nomor 482 CI tahun 1973, artinya substansi objek lokasi tanahnya jelas berbeda," tukasnya.


KRONOLOGIS TANAH WARISAN

Atas Nama Dalia binti Sangkala, Persil 15 D2 kohir 403CI tahun 1959

Kronologis Tanah Warisan itu, sambung Hamsinah mengkisahkan, menurut Hambali (anak dari Baso bin Amang). Ayahnya dulu menggarap tanah milik Munira, saudara Dalia binti Sangkala. Dan tanah itu sudah dibeli dari Munira. Tetapi, menurut pengakuan dari anak dari Munira, yaitu Bollo. Baso bin Amang tidak pernah membeli dari Munira. Hanya digadai saja.

"Tapi, belakangan, Hambali mengaku membeli dari ahli waris. Dan tanpa sepersetujuan ahli waris dari Dalia binti Sangkala, Sitti Daeng Ummi dan Salmah Daeng Tarring, Hambali menjual kepihak lain berdasarkan Ipeda," katanya.

Lanjut dia, bahwa luasan tanah Dalia binti Sangkala seluas 6000 m2 diketahui setelah pengembang memanggil para ahli waris dari Dalia binti Sangkala. Untuk menentukan batas tanahnya. Saat itu yang menghadiri adalah anak-anak dari ahli waris, Hamsinah, Hastuti, almarhumah Harpiah dan Hasriani.

Pihak ahli waris memenuhi panggilan pihak yang berwajib, dalam hal ini Polrestabes Makassar. Pihak ahli waris menyangkal tuduhan yang ditimpakan kepadanya. Dengan membawa bukti-bukti bahwa tanah yang diklaim itu milik nenek mereka dan merekalah yang menguasai lahan dan sudah banyak aktivitas di atasnya. Seperti berdirinya dua pondok, sudah ada empang, timbunan jalan, dan penanaman berbagai tanaman.

Alhasil, kata Hamsinah, pihak ahli waris pun memakai jasa seorang pengacara, yaitu Agus Salim, SH. Saat itu, pihak pengacara kami, mempersilakan pihak yang mengklaim tanah kliennya untuk melangkah ke pengadilan perdata. Karena hanya di pengadilan perdata yang bisa membuktikan pihak yang mana yang benar sesuai bukti-bukti yang ada. Namun, pihak yang melaporkan tidak mau membawa ke pengadilan. Mereka mau diatur damai. "Dari pihak ahli waris bertahan, sebab surat sertifikat tanah yang dipegang oleh Setiadi tidak berdasarkan alas hak atas nama Dalia binti Sangkala, pemilik tanah yang diklaim. Pada bulan Oktober 2020, beberapa penyidik dan BPN turun ke lapangan memfoto lokasi untuk memastikan titik koordinat sertifikat yang dimiliki oleh Setiadi," tuturnya.

Anehnya, ujar Hamsinah, satu tahun berselang, 17 November 2021. Penyidik dari Polrestabes Makassar sekitar lima orang dan seorang petugas BPN bersama lima orang anggotanya turun ke lapangan beserta rombongan. Polisi mengatakan ini merupakan tindak lanjut dari setahun yang lalu. Polisi yang bersurat ke BPN untuk melakukan pengukuran tanah atas nama Setiadi sekaligus memasang patok-patok baru.

Hamsinah sebagai ahli waris menyatakan, dengan bekal surat kuasa dari notaris, ia sangat keberatan, harus kasus ini dibawa ke pengadilan perdata dulu baru diadakan pengukuran. Tapi, polisi mengatakan ini untuk kepentingan penyidikan juga.

"Alhamdulillah, dengan dialog yang alot antara ahli waris, Hamsinah Hamid, dengan penyidik yang dipimpin oleh Pak Anis berakhir dengan dibatalkannya pengukuran dan pemasangan patok-patok. Pengacara juga menekankan kalau semestinya tidak ada aktivitas pengukuran oleh pihak lain diatas tanah ahli waris yang dikuasainya," ungkapnya.

Menurut keterangan Abd Rajab, suami Hamsinah, diduga dari pihak BPN juga kesulitan melakukan pengukuran, akibat jaringan internet di Lokasi itu tidak bagus dan tidak bersahabat, sebab sempat ia dengar, beberapakali dicoba untuk koneksi internet tetap gagal.

"Akhirnya, para penyidik dan petugas BPN membubarkan diri sekitar pukul 15.00. Dari pihak ahli waris tetap menunggu pihak penggugat diranah perdata atau pengadilan, supaya ada keputusan final yang bisa memuaskan semua pihak. Jangan ada pengerahan massa yang bisa berakibat fatal. Kita semua harus menahan diri dan negara kita adalah negara hukum. Sebab kita sama dihadapan hukum, tetapi perlu diingat jangan sampai tidak sama dalam perlakuan hukum," kuncinya. (TIM Inv./RN-Mks)

Posting Komentar

0 Komentar