Haji Bawakaraeng, Antara Mitos Dan Fakta Sebuah Tinjaun Spiritual Dan Budaya

Haji Bawakaraeng,  Antara Mitos Dan Fakta
Sebuah Tinjaun Spiritual Dan Budaya 

Oleh Asad Jufri Abdullah

Setiap memasuki Hari Raya Idul Adha,  di sebuah kampung di Sulawesi Selatan, ada sebuah tradisi yang sudah turun temurun di lakukan oleh masyarakat disana,  kadang juga ada datang dari kabupaten lain, mereka juga ikut tradisi itu yaitu, menunaikan ibadah "Haji" di puncak Gunung Bawakaraeng,  Malino Gowa Sulawesi Selatan atau biasa juga di kenal dengan istilah "Hajji Bawakaraeng".
Kalau dilihat dari namanya yaitu, "Hajji Bawakaraeng", maka istilah tersebut mengundang pertanyaan. Pasalnya, kalau kita kembali kepada ajaran Agama Islam, maka tentu kita tidak akan menjumpai literatur kisah ataupun perintah dari Rasulullah saw tentang istilah berhaji ala "Hajji Bawakaraeng".

Menurut cerita rakyat di daerah Gunung Bawakaraeng dan sekitar, Berhaji ala Hajji Bawakaraeng sebetulnya berawal dari kisah Tuanta Salamaka ri Gowa yaitu Syeh Yusuf yang dalam cerita lontara Mangkasara Beliau sempat berzikir dan berfakkur di atas puncak Gunung Bawakaraeng sebelum berangkat ke Tanah suci Makkah untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu berhaji 

Atas dasar kisah inilah, sehingga masyarakat juga melakukan aktifitas yang mirip - mirip di lakukan oleh Tuanta Salamaka Syeh Yusuf yaitu mendaki Gunung Bawakaraeng setiap datang hari raya Idul Adha kemudian di puncak Gunung itu dilaksanakan Sholat Id berjamaah lengkap dengan khotbah bahasa asli Mangkasara 

Masyarakat yang rutin melakukan ritual ini juga beranggapan bahwa beribadah, berdoa,  berzikir dan bermunajat kepada Tuhan di atas puncak gunung yang tinggi akan menambah kesakralan dari hakekat ibadah itu apalagi di atas puncak gunung juga diyakini sudah dekat ke langit dengan kata lain sudah dekat dengan Tuhan yang di yakini berada di atas langit tentunya dalam ArasyNya. Apalagi kesakralan dari nama Gunung Bawakaraeng.
Menurut terminologi bahasa Makassar, Gunung Bawakaraeng terdiri dari dua kata yaitu Bawa dan Karaeng,  dalam Bahasa Mangkasara,  "Bawa" artinya mulut,  sedang Karaeng artinya Raja / Tuhan,  jadi arti Gunung Bawakaraeng adalah penjelmaan Mulut Tuhan,  sungguh begitu sakral kedengaran 

Penulis tidak ingin mengajak kita untuk berdebat lebih jauh,  apakah ritual ini menyalahi syariat Islam atau tidak,  walaupun tidak ada literatur dalam Islam akan model cara berhaji seperti ini tapi setidaknya tentu ki tidak akan gegabah atau buru - buru memberi cap Sesat kepada para penganut Ibadah Haji ala Haji Bawakaraeng ini.

Para pelaku ritual ini semata - mata hanya ingin mengikuti jejak ulama atau Nenek Moyang kita orang Bugis Makassar yaitu Tuanta Salamaka Syeh Yusuf,  juga karena kurangnya biaya dan kesempatan untuk menunaikan Ibadah Haji yang sesuai Syariat Islam yaitu berhaji di Masjidil Haram dan wukuf di Arafah. Mungkin saja, ada yang berpendapat seperti ini, yah itung-itung daripada bermimpi ke Makkah untuk berhaji mending ikuti saja jejak Syeh Yusuf sebagai panutan kita orang Bugis Makassar tentang Agama Islam juga bagi mereka itu akan menghemat waktu dan tentu biaya 

Terlepas dari benar tidaknya ritual itu dari sudut pandang Agama Islam, tentu tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. 
Tapi, setidaknya dalam kacamata budaya tentu akan memperkaya literatur budaya asli Nusantara yang memang lahir dari tradisi Nenek Moyang kita terdahulu,  kalau dalam tinjauan Penulis selagi tidak ada Syariat yang esensial yang di langgar diritual itu,  why not?
Boleh jadi, HAJI BAWAKAREANG yang dimaksud adalah orang sudah melaksanakan lebaran haji di Gunung Bawakaraeng. Seperti halnya orang Islam lebaran di Lapangan Karebosi atau ditempat lainnya dibelahan bumi ini. Mungkin seperti itu tinjauan budayanya.

Kekayaan Budaya Nusantara hendaknya kita syukuri bersama dan tentunya harus dilestarikan. Bangsa kita yang memang sangat terkenal dengan beraneka macam budaya adalah anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Kuasa,  janganlah atas nama Syariat kemudian memberangus kekayaan budaya dengan membabi buta tanpa kajian yang lebih dalam, tentang apakah melanggar syariat atau tidak 

Untuk itulah lahir konsep Islam Nusantara,  sebagai solusi untuk mempertemukan Syariat Islam dengan budaya asli Bangsa kita agar tidak bertentangan, Islam Nusantara adalah Islam yang mengambil tipologi khas masyarakat Indonesia. Islam Nusantara bukan Agama baru,  bukan Mazhab baru. Islam Nusantara hanya model cara berIslam yang memakai corak asli budaya Bangsa kita

Ritual berhaji ala Hajji Bawakaraeng memang belum masuk dalam literatur Islam Nusantara ala NU,  oleh karena itu diperlukan kajian yang lebih mendalam akan hal ini dan tentunya harus yang dikaji dan diteliti secara komprehensif. Agar tidak keliru meletakkan dan memahami istilah Haji Bawakaraeng.

Wallahu waalam.
Penulis adalah pemerhati budaya dan sosial tinggal di Luwu Banggai  

Posting Komentar

0 Komentar