“Pendekar Komunikasi Itu Telah Pergi”

Oleh Safri Mustakim

Refleksi Tujuh Hari Kepergian Kang Jalal

Senja tampak merah merona terpahat lukisan mega di ufuk barat dengan penuh pesona, mengantarkan tubuhku sejenak duduk dikursi serambi rumahku, memandangi awan berarak di langit jingga. Ku amati awan itu bergerak, membentuk sebuah organ tidak tetap selamanya pada posisi tersebut. Seakan menginspirasi aku terus bergerak. Artinya, tiada mungkin akan terus-menerus di tempat tersebut. Ibarat malam gelap gulita, akan lahir pagi membawa panorama keindahan. Mungkin, kehidupan manusia hampir serupa dengan alam ini.

Belum habis kalimat inspirasi itu tersusun dalam satu puisi. Tiba-tiba, Handphone Androidku bergetar sebagai tanda pesan masuk. Senin, Tanggal 15 Februari 2021, sekira pukul 18.44 WITA, masuk sebuah pesan WhatsApp (WA) dari Dr. Hasrullah, MA (Dosen Fisipol Universitas Hasanuddin-UNHAS), pesan dengan simbol anak panah Diteruskan : “Kami baru saja menerima kabar duka : Innaa Lillahi Wainnaa Ilaihi Rojiun (dengan ejaan Bahasa Arab). Telah berpulang ke rahmatullah KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat, hari ini, Senin, 15 Februari 2021, pukul 15.45 WIB, di ICU RS. Santosa.. karena Covid, Istrinya Kang Jalal, telah wafat sekitar 3 Minggu yang lalu”.

Sontak, pesan singkat itu, membuatku penasaran dan segera mencari link berita yang faktual dan terpercaya. Takutnya, ada orang iseng atau bercanda atau bisa jadi hoax, tentang kematian Kang Jalal (Sapaan akrab KH. Dr. Jalaluddin Rakmat) yang dikenal sebagai Tokoh Islam yang memiliki pandangan Pluralisme dan pakar komunikasi. Belum sempat buka google, sahabat aku Muh. Fihris Halik, S.S., MA., Ph.D (Dekan Sastra Universitas Islam Makassar - UIM), mengirim link berita dari www.liputan 6.com, tentang “Cendekiawan Jalaluddin Rakhmat Meninggal Dunia”. Secepat kilat aku membuka portal berita tersebut, dan membaca secara seksama, tentang kabar wafatnya Kang Jalal.

Tidak sampai disitu, segera jemariku membuka sejumlah group WA di handphone milik aku, beberapa link portal berita nasional mengabarkan, wafatnya KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat. Saat itu, aku segera beranjak dari kedudukanku, sembari merunduk sedih dengan duka lara yang dalam, seakan diiris sembilu, perih dan pilu, lalu mengirimkan surah al-fatiha dan seuntai shalawat buat Kang Jalal. Derai air mata tak tertahan lagi, aku sembunyikan antara duduk dan sujud.

Usai simak WA group satu persatu, aku membuka akun facebook (fb) milik aku. Spontan, berita wafatnya Kang Jalal, sudah diposting kemana, bahkan seanterio jagat dalam dunia maya mengetahuinya. Status tentang wafatnya Kang Jalal disejumlah media sosial (medsos), telah mengurai banyak sekali tulisan bernarasi pujian dan kharismatik Kang Jalal, yang ditulis oleh para sahabatnya, murid-muridnya bahkan para pecintanya. Bahkan dari ungkapan duka yang mendalam datang dari seluruh dunia. Tapi, tak dapat dipungkiri bahwa ada juga yang menulis miris, tentang wafatnya Kang Jalal. Seakan radanya sinis dan tidak punya empati. Mungkin saja, mereka tak mengenal secara dekat siapa Kang Jalal tersebut. Kemungkinan lain, ada kepentingan politik yang bersemayam dalam beragama dan seterusnya, Wallahu waalam.

Awal Perkenalan

Terlepas dari opini dan narasi yang ditulis kebanyakan orang, tentang pengalaman dan risalah Kang Jalal. Aku sendiri lebih tertarik meretas narasi dan berkisah sebuah pengalaman kecil, saat pertama kali bertemu Kang Jalal, di sebuah Masjid ditengah Kampus dan Kompleks Perumahan dosen, di Masjid Ikhtiar UNHAS Baraya. Sekira medio tahun 1988, kala itu umurku baru beranjak 18 tahun. Waktu itu, Masjid Ikhtiar Unhas Baraya yang berlokasi di Jalan Sunu, Kota Makassar, menjadi sentra kegiatan yang bernuansa pendidikan Islami. Semarak dan gemanya sampai menasional dengan multi kegiatan, mulai kegiatan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK), Pelatihan Instruktur sampai kegiatan kampus, tentang Seminar, Siposium, Workshop, sampai Diskusi Usai Sholat Subuh dan bedah buku serta telaah tafsir Qur-an dan Hadits.

Banyak Tokoh Intelektual dan Cendikiawan Muslim, bahkan Budayawan yang datang dan mengisi berbagai diskusi. Baik dari Jakarta, seperti Nurcholis Majid, Jalaluddin Rakhmat, Qurais Shihab, Muhtar Adam, Emha Ainun Nadjib, Rusdi Hamka, Imamuddin dan masih banyak lagi. Tokoh Intelektual Islam antar kampus pun tak lepas dari bidikan oleh pengurus Masjid kala itu, seperti dari Universitas Islam Negeri (UIN); Arifuddin Cawidu, Hamka Haq, dan lainnya. Dari Universitas Muslim Makassar (UMI); H. Abdurrahman Basalama, Fuad Rumi, Mansyur Ramli dan lainnya. Dari Universitas Hasanuddin (UNHAS); H. Nasaruddin Razak, Baharuddin Lopa, H. Halide, Anwar Arifin, Sadly, Assaad Maidin, dan masih banyak lagi yang tak sempat disebut satu persatu. Sementara, Universitas Islam Makassar dan universitas lainnya yang ada di Makassar maupun dari luar.

Yang menarik, tentang bagaimana pengalaman perjalanan itu, sehingga bisa memberi arti yang mendalam dengan sosok Cendikiawan Muslim yang memiliki wawasan keilmuan yang dalam dan luas (dalam perspektif penulis). Awalnya, saat bertemu Kang Jalal, pihak pengurus Masjid Kampus Ikhtiar Unhas Baraya, mengundang Kang Jalal sebagai pembicara dalam sebuah seminar dan bedah buku, Psikologi Komunikasi, (Rosda 1985) buku pertama yang ditulis Kang Jalal, sepulang dari kuliah Magister di IOWA State University. Dan buku Islam Alternatif (Mizan, 1986). Banyak aktivis kampus hadir saat itu, bahkan dosen-dosen dari berbagai Kampus dan Organisasi Massa (Ormas) hadir dalam seminar dan bedah buku tersebut. Kala itu, aku menoleh kiri dan kanan, dihadapan serta belakang. Baru aku sadar, ternyata cuma aku yang berseragam sekolah putih abu-abu. Namun, dalam hati kecilku berkata, “cuek saja”.

Alhasil, seluruh rangkaian seminar dan bedah buku tersebut aku ikuti. Dari sini awal imun dan ethos belajar dan gelora membaca buku semakin memacu. Aku melihat Kang Jalal kala itu, sebagai “Pendekar Komunikasi”. Semua pertanyaan dan soal dijawabnya, ‘disikat habis’ dengan lincah penuh referensi yang konfrehensif. Menurutku, mungkin cuma satu orang saja, Bangsa Indonesia memiliki “Pendekar Komunikasi” yang mengusai berbagai bidang ilmu dan bahasa.

Sebuah Perubahan

Kata Rumi : “Mati tanpa Cinta adalah kematian yang terburuk dari segala kematian. Tahukah, mengapa tiram bergetar? Tentunya karena mutiara”.

Ada perubahan yang sangat signifikan terjadi secara sadar dan dibawah alam sadar. Aku yang baru belajar, menyadari terjadinya perubahan tersebut. Menyadari bahwa pengetahuan bertambah. Perubahan dalam belajar bersifat kontinue dan fungsional, satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar berikutnya. Ibarat seorang anak bisa menulis dan baca, maka ia akan mendapat kemampuan lain seperti menulis surat, mengerjakan soal dan lainnya.

Selain itu, ada sesuatu yang aku rasakan bahwa perubahan dalam belajar bersifat positif dan semakin aktif, makin banyak usaha belajar itu dilakukan makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan lain yang aku alami kala itu, dalam belajar dan membaca segala macam referensi bersifat inovasi, bukan bersifat sementara. Uniknya, setiap ada refensi buku yang menurut Kang Jalal bagus dibaca, maka berjubel orang mencarinya, untuk membeli dan membacanya. Misalnya, buku Quantum Learning, yang ditulis oleh Bobbi De Porter & Mike Hernacki. Quantum Teaching dan masih banyak lagi.

Perubahan’ mencakup seluruh aspek tingkah laku. Proses belajar yang dulunya santai-santai saja dapat merubah tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan dan lainnya. Ibarat anak yang baru belajar berjalan, jatuh bangun, lalu berjalan kemudan berlari kencang. Aspek dalam diri aku berubah, baik cara pandang dan konstruktif berpikir hingga pada persoalan spritual. Hampir semua buku yang Kang Jalal aku beli dan baca, bahkan uniknya gaya bicaranya pun aku mencoba menirunya.

Keniscayaan

Imam Syafi'i menggambarkan : "Dunia adalah tempat yang licin nan menggelincirkan, rumah yang hina, bangunan-bangunannya akan runtuh, penghuninya akan beralih ke kuburan, perpisahan dengannya adalah sesuatu keniscayaan, kekayaan di dunia sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kemiskinan, bermegah-megahan adalah suatu kerugian, maka memohonlah perlindungan Allah, terimalah dengan hati yang lapang segala karunia-Nya".

Meski aku tahu dan yakin, Kang Jalal pasti tidak kenal aku bahwa aku fansnya. Walau pun aku sembunyi-sembunyi menghafal setiap ceramah-ceramah lewat buletin Attanwir. Ibarat pecinta Rumi lewat karya-karyanya selalu dijadikan referensi. Niscaya Rumi abadi ditengah karyanya, walau ia sudah meninggal beribu tahun yang lalu. Ada kemungkinan, Kang Jalal tersipuh malu dan boleh jadi dia marah, melihat aku yang mengaku-ngaku sebagai muridnya, sementara dia tak mau disebut guru dari murid seperti aku. Disebabkan terlalu banyak kekurangan atau kefakiran ilmu.

Tetapi itu perkara lain, kadang muncul argumen bahwa guru non formal kadang lebih dahsyat memberi peran dan pengarahan sebagai pelaku penyebar kebijakan pendidikan dan pengetahuan fasilitator. Tanpa menafikan guru yang formal (dalam lingkup sekolah) bahwa guru non formal dapat memberi fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar, mediator atau penengah atau memberi jalan keluar. Bahkan boleh jadi mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik. Seperti itu, Kang Jalal sebagai guru non formal dalam memberikan pencerahan kepada siapa saja.

Keniscayaan hadirnya Kang Jalal dalam kehidupan berbangsa, sebagai mozaik dalam mewarnai perbedaan dan pandangan pluralisme dalam kehidupan umat manusia. Merangkul Perbedaan, “Seluruh agama pada awalnya adalah agama samawi,” ungkap Kang Jalal dalam bukunya berjudul Madrasah Ruhaniah: Berguru Pada Ilahi di Bulan Suci. Dalam bukunya berjudul Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, ia mengatakan bahwa seorang eksklusif merupakan orang-orang yang percaya bahwa “hanya pemeluk agamanya saja yang selamat dan masuk surga. Di luar lingkungan agama kita, semuanya masuk neraka.”

Menurut Kang Jalal, pemikiran ini bisa menjadi bumerang. “Lingkungan agama kita” yang mana yang akan menggiring penganutnya masuk surga? Dalam buku tersebut, Kang Jalal menjelaskan bahwa akan tercipta perpecahan yang disebabkan oleh klaim masuk surga ini. “Umat Islam akan pecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka, kecuali golonganku”. Lanjutnya, dalam golonganku, semuanya masuk neraka kecuali mereka yang ikut kepada Ustadz Fulan. “Artinya, Rahmat Allah yang meliputi langit dan bumi sekarang diselipkan di sudut surau yang sempit,” tukas Kang Jalal di bukunya.

Sementara seorang pluralis menganggap bahwa setiap pemeluk agama punya kesempatannya sendiri-sendiri. Katakanlah, masuk surga. Kang Jalal mengingatkan kepada kaum Muslim yang konservatif, eksklusif dan totok bahwa Alquran surat al-Maidah, ayat 105, sudah mewanti-wanti soal sikap eksklusif itu. "Wahai orang-orang yang beriman, diri kalian adalah tanggung jawab kalian. Orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian mendapat petunjuk." Kendati Kang Jalal sudah tiada, namun karya-karya dalam puisi, tulisan dan ceramah-ceramahnya takkan lekang dimakan waktu. Karya dan tulisan Kang Jalal konon disebut merupakan revolusi terhadap ilmu kalam yang mengandung konotasi pengkritikan terhadap filsafat-filsafat yang melampaui batas logika, etika dan estetika serta pengkultusan.

Selamat jalan guruku tercinta, selamat jalan pendekar komunikasi.

“Dalam perpisahan pecinta bagaikan nama tanpa makna. Tetapi makna seperti cinta tak membutuhkan nama”. (Rumi).

Penulis : Pemerhati Sosial Budaya Tinggal di Makassar

Posting Komentar

1 Komentar

lukmanamir8@gmail.com mengatakan…
Mantap,suatu ulasan dan pengembaraan yg luar bisa om syafri.