KANG JALAL, MERETAS JALAN BUNTU

Oleh Tajuddin Noer

Momentum Menuju Pencerahan

Dekade tahun 90-an. Intelektual Islam Indonesia masih terbilang sedikit. Sebut saja, diantaranya Nurkholis Majid, Gus Dur, Dawam Raharjo, Amin Rais, Emha Ainun Najib, Djohan Efendi dan Jalaluddin Rahmat. Merekalah di antara pemikir Indonesia yang mewarnai pergolakan pemikiran Indonesia pada saat itu.

Di antara para pemikir tersebut, tiga antaranya sangat fenomenal. Nurkholis dengan gagasan Islam Yes Politik No. Gus Dur dengan Humanisme serta Kang Jalal yang bercorak agama cinta. Baik Gus Dur, Nurkholis Majid dan Kang Jalal, ketiganya memiliki tujuan sama yakni ingin membongkar kejumudan keagamaan.

Lebih spesifik lagi, Kang Jalal datang menyodorkan telaah-telaah pemikiran dan sekaligus membongkar intrik-intrik historis yang banyak disembunyikan pada masa lalu. Tema-tema yang di usung Kang Jalal banyak membawa kontrofersi sebab banyak orang tidak siap menerima kenyataan bahwa agama dan sejarah masa lalu memiliki banyak penyimpangan.

Ketika teori-teori menyimpang dari kemapanan, disitulah banyak orang tidak sigap dan bahkan menolak tanpa meneliti secara seksama terhadap apa yang disampaikan oleh Kang Jalal. Akan tetapi sedikit di antaranya yang mau melihat dan objektif terhadap sejarah dan keagamaan masa lalu. yang menolak, sebahagian membuat skenario menyebarkan fitnah terhadap mazhab yang di anut Kang Jalal. Sementara yang lainya bertahan pada sikap malu-malu.

Akibatnya pergolakan pemikiran pun terjadi. Kawan-kawan aliran Wahabisme, Salafi dan sejenisnya merasa terancam dengan gerakan intelektuak Kang Jalal. Tak pelak lagi, teror dan fitnah menjadi "mazhab baru" dalam membendung arus gerakakan Kang Jalal. 

Atas realitas ini, berhentikah Kang Jalal dalam mengusung pemikiran yang khas tersebut?, tidak, ia terus berjalan di antara panah-panah fitnah. Marahkah ia atas hujatan, teror dan bahkan menghalalkan darahnya, tidak. Ia bahkan terus saja senyum sambil menangkis tuduhan-tuduhan dengan jawaban mematikan.

Memahami Realitas

Dalam pergolakan tersebut, ketika itu, saya melihat dengan jelas arus pemikiran dan politik yang terjadi. Ditambah dengan beratnya tekanan Orde Baru menyebabkan kaum oposisi harus bergerak di bawa tanah agar tidak teridentifikasi dalam perlawanan terhadap orba.

Ketika itu, saya masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan di Makassar. Tempahan kampus yang memang konsen terhadap keagamaan membuat saya menekuni kajian-kajian ke-Islaman, apa lagi setelah mengikuti latihan LK 1 HMI, Giroh keilmuan yang tumbuh pada saya terus mengalir. Seminar-seminar, diskusi keagamaan nyaris saya ikuti semua.

Tema-tema bacaan tidak hanya terbatas pada buku-buku bercorak normatif, akan tetapi juga buku-buku yang bercorak sosial, politik, budaya dan sastra saya beca dengan seksama. Di tengah giroh tersebut, buku-buku berbagai penerbit dan beragam disiplin keilmuan saya baca, termasuk penerbit buku-buku Mizan saya gandrungi dengan baik.

Pemikiran Alvin Tifler, Abul A'la Maududi, Ziauddin Sadr, Iqbal, Khalil.Gibran, Ali syariati, Murthada Mutahari, Imam Khomeni, Baqir Sadr, serta beberapa penulis Indonesia seperti Nurkholis Majid, Gusdur, Amin Rais dan tentu Jalaluddin Rahmat menjadi telaah khusus.

Masa itu benar-benar menjadi pemantik terhadap kebangkitan intelektual. Kajian-kajian kelompok ke-islaman ataupun yang bercorak filsafat dan atau training pada berbagai tingkatan tumbuh di mana-mana, tentu dengan berbagai tema yang menarik.

Dalam berbagai situasi dan keadaan pada saat itu, tumbuh kesadaran keilmuan yang objektif terhadap aliran pemikiran yang ada ditubuh umat Islam. Karena itu, telaah teologis menjadi amat menarik, akan tetapi harus diakui bahwa pandangan yang berbeda pada teologi menimbulkan keraguan dan bahkan kebingungan tersendiri. Asy'ari yang cenderung mematerilkan Tuhan serta Mu'tazilan yang cenderung pada rasionalitas berlebihan menimbulkan tanda tanya besar.

Benturan teologis tersebut berlangsung tanpa ada jalan tengah. Seiring dengan bergeraknya waktu, teologi Isna Asyariah atau imamiah menjadi pemuas tersendiri. Paling tidak kita bisa dipuaskan pada pembahasan tasbih dan tanzih oleh Ibnu Arabi dan puncaknya Mullah Sadra dengan filsafat Hikmah. Inilah kemudian mengapa ada keberpihakan teologis imamiah.

Kala itu, gesekan pemikiran teologis dengan Wahabi mulai terasa. Kawan-kawan yang berpikir bebas tanpa sekat mazhab atau bersikap pada mazhab isna asyariah menjadi sasaran empuk kaum Wahabi. Saya, kala itu bersikap bebas yang kemudian tertuduh sebagai aliran sesat menjadi target oleh kawan-kawan wahabi untuk tidak mengisi kajian-kajian lagi.

Pada hal, waktu itu interaksi saya dengan kelompok-kelompok harakah yang bercorak Wahabi. Termasuk membaca buku-buku bercorak ideologi tersebut. Tetapi sekali lagi bagi saya kehidupan kelimuan tidak boleh dibatasi oleh pemikiran tertentu termasuk persoalan mazhab. Batasan-batasan kemazhaban justru akan melahirkan fanatisme. Atas kesadaran ini, orang tidak boleh menutup diri atas berbagai keilmuan.

Di dekade 90-an inilah menjadi titik awal kesadaran baru bagi saya, apa lagi setelah saya mengikuti basic training di Bonto lempangan, yakni HMI. Setelah basic itulah, titik balik kehidupan mulai berjalan. Laju membaca terus saja tumbuh hingga pada akhirnya saya bersentuhan dengan buku-buku yang di karang Dr. Jalaludin Rahmat, islam Islam Aktual, islam alternatif, psikologi komonikasi saya baca dengan baik. Kemudian hasil bacaan tersebut mengalahkan pandangan pemikiran yang bercorak Wahabi.

Pasalnya, kecenderungan jiwa saya lebih pada intelektualitas. Apa lagi gagasan intelektual di Hmi masa itu sedang mengalir bagai bah. Gagasan pemikiran yang bersifat sosial konstruktif dan peradaban sedang di bicarakan dihampir setiap diskusi. Ditengah kegandrungan itu, buku kang Jalan Islam alternatif, Islam aktual yang terakhir buku rekayasa sosial menjadi bahan renungan yang mendalam, hingga pada akhirnya melahirkan kesadaran akan keberpihakan pada realitas sosial marginal. Seperti pilahan Kang Jalal.

Bagi saya, Kang Jalal (Almarhum), telah banyak mengisi hal-hal kosong dalam kehidupan intelaktual yang ada di indonesia. Kepiawaian Kang Jalal mengolah hal-hal sulit menjadi sangat mudah dipahami, analogi dan fakta sejarah didedahkan dengan referensi yang otentik. Itulah mengapa bagi para pembacanya sangat terbantu memahami persoalan keagamaan. 

Kang Jalal, harus diakui bahwa di saat banyak orang sealiran seperti dia tidak menyuarakan ajaran ahlul bait, ia tampil pasang badan. Ia hadapkan dadanya menjadi sasaran panah, agar agama cinta yang ia pahami terus diperkenalkan. Saat ini, hasil dari perjuangan tersebut telah menuai hasil, tentu masih ditengah badai fitnah yang tak kunjung usai.

Tidak banyak orang seperti dia yang memiliki pemahaman yang sempurna. Ia bicara ilmu komonikasi, tetapi pada saat yang sama ia bicara tentang sunnah yang kemudian menjadi disertasi beliau di Uin Makasaar. Ia bicara tentang filsafat, tasawuf dan irfan pada saat yang sama ia bicara tentang neuro sains.

Kang Jalal bagi saya, adalah pendekar mempuni dalam berbagai disiplin ilmu. Bagaimana bisa seorang ahli Komonikasi bisa menguasi ilmu-ilmu keagamaan. Dari ilmu tradisional sampai ilmu modern. Kehadiran Kang Jalal dipentas keilmuan adalah anugrah bagi bangsa ini. Lewat Kang Jalal kita menjadi banyak tahu dan faham tentang berbagai ilmu.

Ditengah serangan mazhab yang dianutnya ia tidak menjadi roboh, tetapi justru ia jawab dengan karya-karya yang monumental. Dari Islam alternatif sampai Jangan Bakar Taman Surgamu, buku kecil dan tipis seri Tasawuf Warak menjadi bukti bahwa karya-karya Kang Jalal adalah par excellent. Ia teramat mahir menyuguhkan argumen-argumen dengan berbagai referensi. Sehingga kita menjadi tahu bahwa ternyata ada khasana keagamaan yang tidak sampai ke kita.

Ya, Ia terus bicara tentang agama cinta ditengah cercaan. Ia tidak peduli sekujur tubuhnya di hujani pana-panah fitnah, ia terus berjalan diantara lontaran kebencian, ia abaikan karir dan jabatan, ia memilih berjalan di antara orang-orang yang juga di lumuri dengan bangkai fitnah. Ia Tak pernah bergeming sedikitpun, karena jalan yang ia pilih adalah jalan yang tidak banyak dipilih orang. Ya, jalan itu adalah jalan rahmat yang penuh cinta.

Adalah Kang Jalal, salah seorang cendikiawan Muslim yang konsisten hingga ajal menjemputnya. Ia terus menorehkan karya tanpa kenal lelah. Ilmu adalah jalan yang ia pilih sebagai ajang perkhidmatan terhadap kehidupan dan berbangsa. Meskipun ia sempat duduk sebagai DPR RI akan tetapi, dengan posisi tersebut ia semakin menikmati perkhidmatan pada sesama.

Bahkan di tengah serangan badai covid-19 ia terus mendedahkan keilmua. Terakhir tema-tema yang diusung adalah makasyid syariah. Yakni tema-tema syariah melalui berbagai pendekatan. Ditengah kesempatan inilah Kang Jalal terpapar Covid-19 yang menyebabkan ia pergi tak kembali.

Kepergianya di alam Barsah meninggalkan duka yang amat dalam, apa lagi sebelumnya kekasihnya yang kinasih telah mendahuluinya. Duka dan air mata oleh berbagai pencintanya terus menetes. Kenangan perjumpaan di masa ia hidup meninggalkan kesan keharuan.

Hidup bukanlah milik kita, tetapi ada yang yang memiliki, yakni Tuhan semesta alam.

Sedikit Pembelaan

Banyak orang bersyukur atau bergembira atas kematian seseorang.  Pada hal, bahkan pada dirinya sendiri, ia tidak bisa menjamin bahwa ia akan mati dengan cara baik-baik. Kegembiraan yang mestinya kedukaan atas kematian seseorang menunjukan bahwa mereka memastikan bahwa kematian atas diri-diri mereka akan berakhir dengan cara yang baik.

Jadi ada unsur pendahuluan atas hak Allah, yakni memastikan bahwa dirinya akan berakhir dengan baik. Pada hal, kepastian hanya milik Allah. Jadi ucapan Alhamdulillah atas kematian seseorang mengandung unsur keangkuhan, kesombongan bahkan kemusyrikan. Kenapa ada unsur kemusrikan?, karena ia telah mendahului hak Allah.

Dalam hal kebaikan pada akhir hidup seseorang, kita hanya boleh mengharap. Tidak boleh ada unsur pemastian. Karena itulah fungsi doa. Jadi hal yang paling jauh bisa dilakukan seseorang atas sesuatu yang akan datang adalah berdoa atas keinginan tersebut.

Adanya formulasi pemikiran yang tidak memiliki kaidah normatif keagamaan, karena mereka tidak memahami ucapan mereka. Ucapan yang tidak sesuai konteks adalah merupakan penyakit batin, yang susah ada obatnya, terkecuali mereka menaikkan 1-2 oktaf akal mereka, artinya mereka harus bertobat atas kerancuan cara berfikir.

Kegembiraan atau kedukaan harus ditempatkan pada porsinya. Mestinya seseorang yang meninggal, pasangannya adalah kedukaan dan atau kelahiran, pasangannya adalah kegembiraan, yakni bersuka cita atas kelahiran. Demikian pula dengan kematian, yakni berduka atas kematian. Meninggalnya Kang Jalal, disamping banyak yang berduka, tetapi pada sisi lain banyak malah berucap alhamdulillah. Pada hal dalam satu riwayat Rasulullah berdiri sebagai tanda penghormatan kepada jenazah seorang Yahudi yang sedang diusung ke pemakaman.

Nah, kerancuan dogmatis keagamaan seperti ini akibat mengesampingkan aqal. Coba kita perhatikan secara seksama. Dalam agama, bila ada yang meninggal, atau kehilangan atau cobaan, maka ajaran Muhammadi memberi tuntunan yakni mengucapkan innalillahi wa inna ilahi rajiun, bukan dengan alhamdulillah. Artinya orang yang mengucapkan alhamdulillah atas kematian seseorang hatta orang yang berbeda keyakinan sekalipun, tidak ada tuntunannya.

Ucapan alhamdulillah harus sesuai dengan konteksnya, yakni kegembiraan atas nikmat Allah. Sama dengan kematian, objeknya adalah mati. Jika objeknya mati, maka seluruh makna atau tafsir atas kematian itu adalah duka (berkabung). Meskipun cara matinya dengan baik, misalnya mati Syahid, tetapi pasan awalnya atas orang yang ditinggalkan adalah berduka.

Dalam hal tata nilai keagamaan, orang tidak bisa berperan antagonis, yakni berpura-pura jahat, pada hal aslinya orangnya baik. Atau sebaliknya, dalam kehidupan nyata, sepintas lalu, ia ramah bahkan dermawan, tetapi sesungguhnya ia mavia. Bahkan "mavia agama". Yakni penampakan luar sangat agamis, akan tetapi lidah menyemburkan bara api.

Setiap manusia memiliki kelemahan, akan tetapi, dalam hal-hal dasar atau prinsip, seseorang harus berupaya peningkatkan pemahaman yang berkesinambungan. Ucapan dan perbuatan ada pertanggungjawabannya di hari kemudian. Ucapan buruk akan menghancurkan amal-amal baik kita. Orang tau ini, tetapi masih saja mengucapkan kata-kata bersifat kebencian dan hinaan.

Ucapan di luar konteks bukan hanya soal etika, tetapi juga soal pemahaman teologis dan sosilogis. Nah, karena ucapan kita, mengandung relasi-relasi teologis dan sosilogis, maka harus ada batas-batas nilai yakni ETIKA. Tanpa etika, ucapan manusia akan beresiko pada "derita keakhiratan".

Kerancuan berfikir ini tidak saja melanda kaum agamawan, tetapi juga para politisi yang mestinya tidak lagi berkutat pada pertanyaan-pertanyaan konyol atau terjebak pada ucapan-ucapan di luar konteks. Pada hal mereka adalah manusia millenial yang berada di puncak peradaban. Akan tetapi masih saja minus faham, misalnya, tidak bisa membedakan antara "kritik" dan "kurang ajar"(hate speech), "kasar" dan "tegas". Radikal dan hikmah.

Tidak ada yang lebih berbahaya kecuali kematian berfikir logis. Tidak ada yang lebih menakutkan kecuali fanatik buta. Tidak ada yang lebih mengerikan kecuali kebangkrutan di hari kemudian. Wassalam

Persembahan syair dengan judul :

Pulang Tak Kembali

Jejaknya masih nampak Dan akan terus nampak Jejaknya ditumbuhi kembang Harum semerbak bagai kesturi

Kata-katanya terus menggema Penuh adab penuh khasana Memenuhi jiwa para perindu Yang terpaut dalam cinta

Parasnya ditaburi senyuman Intonasinya tak memekakan telinga Penuh seni penuh retorika yang tinggi Dan kami mengangguk dalam ilmu

Khasanah ilmu bertabur dalam kejumudan Meretas kegelapan di antara kedhaifan Membawa kendi-kendi pelepas dahaga Agar kafila tak terkulai dalam kehampaan

Kini engkau pulang tak kembali Bersama kekasih yang kinasih Berjumpa sang pengasih yang mengasihi Dalam damai dan cinta

Kini hanya kami yang tersisah Dalam duka atas kepulanganmu Merawat rindu atas baginda Nabi Agar berjumpa di telaga alkautsar

Di sini, diantara zaman fitnah Kami menanti sang Mahdi penakluk zaman Seperti yang engkau sabdakan Dalam majelis-majelis ilmu

Duhai guru, engkau guru dalam guru Engkau pulang dengan luka disekujur tubuh Karena panah-panah fitnah terus menghujam Tak pernah usai dan engkau pilih jalan itu

Manisnya cinta tak terasa Bila hanya berkata cinta Manisnya cinta - resapilah Agar didalam cinta kata dan rasa Berjumpa dalam ramuan ilahi

Selamta jalan guru

PEnulis L Pemerhati Sosial dan Budaya, Tinggal di Makassar

Posting Komentar

0 Komentar