CATATAN KECIL ATAS MENINGGALNYA KANG JALAL

Oleh Tajuddin Noer

Banyak orang bersyukur atau bergembira atas kematian seseorang. Pada hal, bahkan pada dirinya sendiri tidak bisa menjamin bahwa ia akan mati dengan cara baik-baik. Kegembiraan yang mestinya kedukaan atas kematian seseorang menunjukan bahwa mereka memastikan bahwa kematian atas diri-diri mereka akan berakhir dengan cara yang baik. Jadi ada unsur pendahuluan atas hak Allah, yakni memastikan bahwa dirinya akan berakhir dengan baik. Pada hal kepastian hanya milik Allah. Jadi ucapan Alhamdulillah atas kematian seseorang mengandung unsur keangkuhan, kesombongan bahkan kemusyrikan. Kenapa ada unsur kemusrikan?, karena ia telah mendahului hak Allah.

Dalam hal kebaikan pada akhir hidup seseorang, hanya boleh mengharap. Tidak boleh ada unsur pemastian. Karena itulah fungsi doa. Jadi hal yang paling jauh bisa dilakukan atas sesuatu yang akan datang adalah berdoa atas keinginan. Nah, kenapa ada formulasi pemikiran yang tidak memiliki kaidah normatif keagamaan?, karena mereka tidak memahami ucapan mereka. Ucapan yang tidak sesuai konteks adalah merupakan penyakit batin, yang susah ada obatnya, terkecuali mereka menaikkan 1-2 oktaf akal mereka, artinya mereka harus bertobat atas kerancuan cara berfikir.

Kegembiraan atau kedukaan harus ditempatkan pada porsinya. Artinya seseorang yang meninggal, pasangannya adalah kedukaan dan atau kelahiran, pasangannya adalah kegembiraan, yakni bersuka cita atas kelahiran. Demikian pula dengan kematian, yakni berduka atas kematian. Meninggalnya Kang Jalal, disamping banyak yang berduka, tetapi pada sisi lain banyak malah berucap alhamdulillah.

Nah, kerancuan dogmatis keagamaan seperti ini akibat mengesampingkan aqal. Coba kita perhatikan secara seksama. Dalam agama, bila ada yang meninggal, atau kehilangan atau cobaan, maka ajaran Muhammadi memberi tuntunan yakni mengucapkan innalillahi wa inna ilahi rajiun, bukan alhamdulillah. Artinya orang yang mengucapkan alhamdulillah atas kematian seseorang hatta orang yang berbeda keyakinan, tidak ada tuntunannya. Ucapan alhamdulillah harus sesuai dengan konteksnya, yakni kegembiraan atas nikmat Allah. Sama dengan kematian, objeknya adalah mati. Jika objeknya mati, maka seluruh makna atau tafsir atas kematian itu adalah duka (berkabung). Meskipun cara matinya dengan baik, misalnya Syahid, tetapi pasangan awalnya atas orang yang ditinggalkan adalah berduka.

Dalam hal tata nilai keagamaan orang tidak bisa berperan antagonis, yakni berpura-pura jahat, pada hal aslinya orangnya baik. Atau sebaliknya, dalam kehidupan nyata, sepintas lalu, ia ramah bahkan dermawan, tetapi sesungguhnya ia mavia. Bahkan mavia agama". Yakni penampakan luar sangat agamis, akan tetapi lidah menyemburkan bara api. Setiap manusia memiliki kelemahan, akan tetapi, dalam hal-hal dasar atau prinsip, seseorang harus ada upaya peningkatkan pemahaman yang berkesinambungan. Ucapan dan pebuatan ada pertanggungjawabannya di hari kemudian.

Ucapan di luar konteks bukan hanya soal etika tetapi juga soal pemahaman teologis dan sosilogis. Nah, karena ucapan kita, mengandung relasi-relasi teologis dan sosilogis, maka harus ada batas-batas nilai yakni ETIKA. Tanpa etika, ucapan manusia akan beresiko pada "derita keakhiratan". Kerancuan berfikir tidak saja melanda kaum agamawan, tetapi juga para politisi yang mestinya tidak lagi berkutat pada pertanyaan-pertanyaan konyol atau terjebak pada ucapan-ucapan di luar konteks. Pada hal mereka adalah manusia millenial yang berada di puncak peradaban. Akan tetapi masih saja minus faham, misalnya, tidak bisa membedakan antara "kritik" dan "kurang ajar"(hate speech), "kasar" dan "tegas". Radikal dan hikmah dan sebagainya.

Makassar, 17.02.2021 {Penulis Pemerhati Sosial dan Budaya, Tinggal di Makassar)

Posting Komentar

0 Komentar