Pilkada Serentak Dan Fenomena Demokrasi Di Medsos

Oleh Muhammad Ilyas HS.
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak beberapa waktu lalu, menyisahkan sejumlah fenomena politik di tanah air. Meski diakui bahwa pesta demokrasi yang dikemas dalam konsep Pilkada serentak tentu kita patut acungkan jempol. Pasalnya, Pilkada kali ini di tengah Pandemi Covid-19 ternyata sukses, berjalan tertib dan damai, pada Rabu, 09 Desamber 2020. Walau pun masih banyak komentar tidak relevan dari relawan atau simpatisan paslon tertentu kepaslon lainnya, khususnya di media sosial (medsos). Sadar atau tidak, ketika membaca beberapa status di medsos dan beberapa komentar menjadi fenomena dalam berdemokrasi. Padahal Pilkada langsung adalah pertaruhan besar bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Selain diupayakan untuk mewujudkan kesinambungan kepemimpinan lokal yang hendak dipilih secara demokratis dan terbuka, Pilkada langsung juga tentu mensyaratkan beberapa aspek yang perlu dicermati dengan seksama, sehingga mekanisme demokrasi tersebut akan membuka peluang yang lebar bagi setiap warga negara dalam mengaktualisasikan hak-hak politiknya seiring dengan kepemimpinan politik dan pembangunan daerah. Selain itu, mengingat potensi dan dampak lanjutan yang mungkin ditimbulkannya, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan menghadapi Pilkada ke depan. Sayangnya, pendidikan demokrasi di negara ini, dengan meminjam istilah Gus Dur, masih seperti Taman Kanak-Kanak. Coba kita simak beberapa status di Medsos, kadang etika berkomunikasi sudah terabaikan, bahkan tak sedikit elit politikus di negeri ini yang masuk bui akibat melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Medsos sebagai sebuah sarana komunikasi dan informasi, sebaiknya beretika dan senantiasa mematuhi norma-norma yang telah digariskan. Ketika medsos menjadi ‘Liar’ tanpa etika dan norma-norma, maka yakinlah kehancuran dan kebrutalan dalam berdemokrasi dan bersosial media menjadi pemandangan yang mengerikan dan menjijikkan. Pilkada serentak sudah usai, tentunya semua pendukung, tim sukses dan relawan kembali ke ‘barak sosial’ bahwa ketika sudah terpilih seorang pemimpin dengan suara terbanyak, maka itulah pemimpin dan kepala daerah semua masyarakatnya. Tidak ada lagi sekat, tidak ada lagi kotak-kotak kepentingan, semua cair bahwa pemimpin itu untuk mengayomi dan melindungi seluruh masyarakat, sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945. Tugas penting para elit poliik memberikan pendidikan poliik diantaranya, pencerahan dan edukasi kepada masing- masing simpatisan atau timnya mengigatkan perlunya komunikasi yang baik santun untuk fokus kepada program kerja. Jangan sampai larut dalam politik pragmatis, politisi yang bersifat pragmatis yaitu menjadikan politik sebagai sarana untuk mencapai keuntungan dan kepentingan pribadi. Pragmatisme politik menganggap bahwa berpolitik merupakan cara mudah untuk meraih status sosial terhormat, kedudukan dan jabatan tinggi serta kemampuan ekonomi. Akhirnya pertarungan politik atau Pilkada ditafsirkan sebagai pertarungan personal yang apriori obsesinya harus menang, tanpa mau menerima kekalahan. Politik Pragmatis kadang tak disadari masuk dalam jiwa dan pemikiran serta prilaku para elit politik yang hanya mengejar ritualisme hidonistik politik yang sarat dengan “ONANI POLITIK”. Buntutnya, kenimatan politik hanya untuk dirinya saja. Sementara masyarakat dalam skala global, tak sekadar sampah belaka dihadapannya. Sebagai penutup penulis meminjam statemen Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni mengigatkan: “Pesanku ini ditujukan kepada seluruh dunia dan umat manusia seluruhnya. Kehidupan manusia saat ini, hidup dalam kehidupan yang benar-benar tiada kedamaian, tiada kelapangan, tiada kehormatan, tiada ketenangan dan tiada kejelasan, itu semua disebabkan berpalingnya manusia (menjauh) dari petunjuk Allah dan tidak adanya upaya berpegangteguh melaksanakan perintah-perintah-Nya.” (**)

Posting Komentar

0 Komentar