MENGENAL KARYA-KARYA FILOSOF ILUMINASI SUHRAWARDI

Oleh: Syamsunar*

Syihabuddin Abul Futuh Yahya Suhrawardi (549-587 H), yang dikenal dengan Syekh Isyraq pendiri maktab filsafat iluminasi, dalam berbagai karya-karyanya mengutarakan berbagai subyek dan masalah filsafat yang berbeda dengan pandangan dan pemikiran filsafat peripatetik. Di antaranya penggunaan istilah cahaya sebagai fokus Ilahiyyatnya, penolakannya terhadap teori bahwa jisim tersusun dari materi dan forma, penolakannya dalam mendefinisikan sesuatu dengan menggunakan esensialitas sesuatu, pandangannya tentang ke-non hakiki-an wujud, dan berbagai pandangannya yang lain yang berbeda dengan maktab peripatetik. 

Dia menulis empat risalah besar yang merupakan karya-karya filsafat  yang mengandung prinsip-prinsip akidahnya, yaitu Talwîhât, Muqâwamât, Masyâri' Wa Muthârahât, dan pada akhirnya Hikmat al-Isyrâq yang menjadi karya monumentalnya. Tiga karya pertama tersebut ditulis dengan metode peripatetik, kendatipun juga mengandung berbagai kritik dan isyakalan terhadap aliran dan maktab filsafat ini. Karya-karya tersebut, khususnya kitab Hikmat al-Isyraq menunjukkan pergerakan pemikirannya dari hikmah bahtsiyyah (discursive) yang sifatnya diskursif menuju hikmah dzauqiyyah yang sifatnya lebih intuitif.

Di samping itu Suhrawardi juga menulis karya-karya dalam bahasa Persia yang memuat kisah-kisah simbolik seperti Risalah Aql-e Surkh, Âwaz-e Par-e Jibril, Shafir-e Simurgh, Ruzi Ba Jamaat-e Sufiyân, dan risalah-risalah berbahasa Persia lainnya.
Di bawah ini kita mencoba menelusuri secara singkat karya-karya besar filsafat dan irfan Iluminasi Suhrawardi:

Kitab Talwîhât
Suhrawardi menulis kitab Talwîhât ini dengan tradisi peripatetik sebagai langkah pertama dalam meletakkan pondasi filsafat Iluminasinya. Dia tentang hal ini berkata: …dan saya, sebelum menulis kitab ini (Hikmat al-Isyraq) dan ketika sedang menyusunnya, saat terdapat halangan yang mencegah saya melanjutkan pekerjaan (penulisan Hikmat al-Isyraq), saya menulis beberapa kitab untuk anda dengan tradisi peripatetik, dan saya menuliskan secara ringkas prinsip-prinsip filsafat mereka dalam kitab-kitab tersebut. Di antara kitab-kitab tersebut, sebuah karya pendek yang berjudul At-Talwîhât al-Lauhiyyah al-'Arsyiyyah yang mencakup banyak kaidah-kaidah (filsafat). Dan kendatipun volume kitab ini kecil, tapi seluruh kaidah-kaidah filsafat peripatetik telah diringkas di dalamnya. 
Dalam kitab ini, Suhrawardi melakukan perubahan kategori logika Aristotelian dengan melakukan pengurangan dari 10 kategori menjadi empat kategori, dan dia memperkenalkan 'gerak' sebagai kategori baru. Di samping itu dia menyatakan bahwa bukan Aristo yang menyingkap kategori-kategori itu, akan tetapi salah satu dari Phytagorisian.  Dengan istidlal ini dia dapat meminimumkan kuantiti kepada kualiti, yakni garis pendek lebih lemah (intensitasnya) dari garis panjang. Dengan demikian Suhrawardi telah mengganti perbedaan-perbedaan kuantiti menjadi perbedaan-perbedaan kualiti. 
Di antara subyek-subyek lain yang dibahas dalam kitab Talwîhât adalah 'universal dan partikular, hakiki dan dzihni, serta wujud dan mahiyah (eksistensi dan quiditas). Suhrawardi, sebagai ganti menegaskan prinsipalitas eksistensi dimana Ibnu Sina pembela pandangan tersebut, dia malah menguatkan pandangan prinsipalitas quiditas.
Di dalam kitab Talwîhât ini juga Suhrawardi menjelaskan tentang musyahadah dan ru'yatnya, dimana menurut penjelasannya dia melihat muallim awwal Aristo dan berdialog dengannya.  Pertemuan dan dialog ini –yang terjadi dalam waktu dia dalam keadaan serupa  tidur- mempunyai pengaruh besar atas perkembangan teorinya tentang sejarah falsafah dan pandangannya tentang perbedaan antara hikmah dan falsafah dalam bentuk argumentasinya.
Aristo yang Suhrawardi isyaratkan dalam penjelasannya adalah Aristo 'othologia', yakni sebenarnya adalah Plutinus. Dan dia bertanya kepada Aristo, apakah filosof peripatetik seperti Farabi dan Ibnu Sina adalah filosof hakiki? Aristo menjawab, bukan, … . Akan tetapi, para sufi seperti Bastami dan Tustari adalah hukama (plural dari kata hakim) dan filosof  hakiki. 
Selanjutnya Suhrawardi membahas bagaimana hikmah dan ilmu iluminasi dimulai dengan Hermes dan di Barat pindah dengan perantara tokoh-tokoh seperti Phytagoras, Empedocles, Agathadaimon (Syaits), Asclepius, dan tokoh-tokoh lainnya seperti mereka itu hingga ilmu ini sampai kepadanya.  Di Timur, ilmu ini berpindah dengan dua jalan; pertama lewat Syâh Mubdân-e Kuhn-e Irani seperti Faridun, Kikhusro, dan lainnya lewat para sufi seperti Bastami, Abul Hasan Kharqani, dan pada akhirnya Mansur Hallaj, dimana mereka semua ini memiliki pengaruh besar  terhadap pemikiran dan pandangan Suhrawardi. 

Kitab Muqâwamât
Kitab Muqâwamât yang ditulis dalam tradisi peripatetik dan dengan model kitab Talwîhât, memberikan paparan yang lebih jelas atas pemikiran-pemikiran iluminasi. Suhrawardi dalam mukaddimah kitab ini berkata: Ini merupakan suatu ulasan yang mengiringi kitab saya yang bernama Talwîhât dimana di dalamnya telah dilakukan perbaikan terhadap beberapa poin yang filosof terdahulu bawakan dalam karya-karyanya. Dan ini dikarenakan keringkasan Talwîhât yang membuat mereka tidak dapat dimuat dalam karya tersebut… . Matlab-matlab ini saya bawakan di sini disertai dengan beberapa poin masyhur dan itu saya namakan Muqâwamât.
Karya ini mesti dihitung sebagai tambahan atas kitab sebelumnya Talwîhât, kendatipun di dalamnya lebih sedikit penjelasan dan lebih banyak debat dan polemik (dengan peripatetik). Suhrawardi mengisyaratkan bahwa kitab Muqâwamât merupakan penuntun untuk memahami lebih baik kitab Talwîhât  dan fondasi serta landasan keyakinan peripatetik dalam kitab tersebut dipaparkan dalam bentuk lebih sempurna.

Kitab Masyâri' Wa Muthârahât
Kitab Masyâri' Wa Muthârahât ini merupakan karya penting Suhrawardi dan menjadi tulisan terpanjang darinya yang memuat doktrin dan pengajaran dari pembahasan argumentatif (hikmah bahtsi)  dan isyraqi (iluminasi). Dia dalam mukaddimah kitab ini menasehatkan kepada semua orang bahwa jika tidak mendapatkan keluasan dalam ilmu istidlali (argumentatif) maka dia telah menutup dirinya dalam perjalanan meraih hikmah transendental iluminasi.
Mukaddimah kitab ini memiliki nilai sangat penting, sebab ia menjelaskan tujuan dan kedudukan kitab tersebut di antara karya-karya lain Suhrawardi dan dia mengisyaratkan tentang keberadaan lingkaran dari penolong-penolong maknawinya. Sebagaimana diungkapkan Suhrawardi: Kitab ini mencakup tiga ilmu, dimana saya menuliskannya berdasarkan permintaan anda saudara-saudara, dan dalam kitab ini saya bawakan pembahasan dan kaidah-kaidah yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab lainnya dan benar-benar berguna dan bermanfaat. Mereka merupakan konklusi dari istinbat dan kontemplasi saya sendiri.

Di samping itu, dalam kaidah-kaidah ini saya tidak menyalahi dari sumber-sember peripatetik. Dan sebagaimana saya memasukkan beberapa poin dan tema (di dalamnya), mereka itu diambil dari prinsip dan dasar hikmah isyraq yang tidak diragukan lebih baik dari apa yang kaum peripatetik  pikirkan. Seseorang yang tidak memihak, setelah menelaah kitab-kitab peripatetik, akan menemukan bahwa kitab ini mengandung matlab-matlab baru (yang tidak terdapat dalam kitab-kitab peripatetik). Barang siapa yang tidak menjangkau ilmu-ilmu bahtsi (diskursus) maka jalannya ke arah pemahaman hikmah iluminasi saya adalah tertutup. Dan mesti kitab Masyâri' ini dikaji sebelum kitab Hikmah al-Isyraq dan sesudah kitab kecil bernama Talwîhât. Dan harus diketahui bahwa saya tidak menjaga sistematika dalam kitab ini dan dalam sebagian tempat saya tidak mewajibkan diri saya kepada suatu ilmu, akan tetapi tujuan saya mengungkapkan suatu tema bahasan yang kendatipun mungkin saja pekerjaan tertarik kepada tema bahasan ilmu-ilmu yang terpisah-pisah. Ketika seseorang tertarik kepada filsafat istidlali (argumentatif) maka dia akan memahami dengan baik bagian ini dan dia akan mengokohkan ilmunya dari sudut pandang ini. Dia dapat memulai riyadah-riyadah zuhud dan memasuki medan iluminasi sehingga dia dapat melihat dengan penyaksian sebagian dari landasan iluminasi.  … permulaan hikmah adalah terputus dari dunia, pertengahannya adalah penyaksian cahaya-cahaya Ilahi, dan akhirnya adalah ketidak terbatasan. Dan saya menamakan kitab ini dengan nama Kitab Al-Masyâri' Wa Al-Muthârahât.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa karya Suhrawardi ini tidak hanya ditulis dengan tradisi peripatetik, akan tetapi meliputi juga sebagian dari pengalaman irfannya. Dalam bagian ke tujuh kitab ini, Suhrawardi menuliskan dengan metode istidlali, kemudian memaparkan subyek-subyek seperti kehidupan setelah mati, wajibul wujud, dan lainnya. Adapun subyek-subyek metafisika dan epistemologi yang lebih detail dibahasnya dalam karyanya paling besar Hikmah al-Isyraq. Suhrawardi, tentang urgennya kitab Hikmah al-Isyraq berkata: Wahai saudara-saudara! Saya wasiatkan kepada anda sekalian bahwa …kunci perkara ini (ketuhanan dan kenonmaterian)  saya tuliskan dalam kitab saya Hikmah al-Isyraq. Masalah-masalah yang kami bawakan di sini sama sekali tidak kami bahas di tempat lain dan kami menuliskannya dengan sistematika serta metode khusus.
Suhrawardi, dalam kitab Masyâri' Wa Mutâharât, dalam beberapa tempat mengutarakan subyek dan tema dengan bahasa iluminasi, karena itu kitab ini untuk memahami hikmah iluminasi dan bahasa iluminasi menjadi kitab yang sangat penting. Dan dengan memperhatikan keberadaan pembahasan cahaya dan kegelapan (dalam kitab ini) maka Suhrawardi telah melakukan percobaan penuangan pengalaman irfannya dalam bentuk hikmah.

Kitab Hikmah Al-Isyraq
Hikmah al-Isyraq, kitab ke empat yang mengandung prinsip-prinsip akidah dan pandangan filsafat Suhrawardi dan merupakan puncak karya metafisikanya. Karya ini, tersusun dari unsur-unsur beragam tradisi iluminasi dan ditulis selama beberapa bulan dalam tahun 582 H. Suhrawardi meyakini bahwa kandungan kitab ini turun kepadanya dengan perantaraan lontaran ruhani. Tentang hal ini dia berkata: Hakikat-hakikat dan rahasia-rahasia ini, dilontarkan ruhul quds dalam suatu hari secara ajaib dan tiba-tiba atas nafs (jiwa) saya… dan penulisannya hanya memakan waktu beberapa bulan.                                       

Suhrawardi tentang kedudukan kitabnya ini bagi pencari hikmah, dalam mukaddimahnya menuliskan: Kitab ini bagi orang-orang yang mencari hikmah dzauqi (intuitif) dan juga hikmah bahtsi (diskursus). Orang-orang yang hanya mencari hikmah bahtsi dan tidak muta'allih (transendental) dan tidak menginginkan ke-transendental-an, dia tidak akan mendapatkan bagian (yang bermanfaat) dari kitab ini. Kami tidak akan membahas kitab ini dan rumusnya kecuali dengan orang-orang yang bersungguh-sungguh mentransendental atau pencari transenden. 

Filsafat iluminasi dapat dibagi atas dua bagian; pertama meliputi pembahasan logika dan filsafat peripatetik dan lainnya subyek-subyek yang berhubungan dengannya yang nilai urgensinya lebih sedikit dari bagian kedua. Bagian kedua meliputi tulisan-tulisan iluminasinya yang ditulis dengan bahasa khusus dan dalam sejarah filsafat Islami tidak ada samanya.

Suhrawardi, dalam kitab ini menuliskan tafsiran filsafat dari perjalanan ruh, dimana perjalanan itu dimulai dengan tazkiyah dan pensucian diri serta akhirnya adalah isyraq (iluminasi). Bagian kitab ini pada dasarnya juga dibahas dengan argumentatif dan sangat banyak masalah-masalah filosofis yang dibahas dengan menggunakan bahasa yang bukan digunakan oleh filosof peripatetik.
Suhrawardi memulai bagian kedua dari kitab Hikmah al-Isyraq dengan menjelaskan hakikat kebadihian cahaya dan mengelompokkan maujud-maujud berdasarkan transparansinya serta membagi cahaya dalam beberapa bagian, yakni wajib dan mumkin.

Demikian pula Suhrawardi dalam bagian ini berkeyakinan bahwa sumber akal adalah suatu cahaya yang membuat seluruh akal-akal lainnya bercahaya dan orang-orang Iran dahulu menamakannya Bahman. Suhrawardi, setelah membahas tingkatan-tingkatan vertikal dan horizontal alam para malaikat, memaparkan lebih lanjut tentang iluminasi dari ru'yat dan penyaksian, serta pengaruh cahaya dan hubungan mereka dengan iluminasi.

Model penulisan dalam Hikmah al-Isyraq tidaklah tetap, sebab Suhrawardi banyak melakukan lompatan penulisan dari satu cabang bahasan ke cabang lainnya dan dia mengungkapkan satu subyek terkadang dalam beberapa tempat. Misalnya jenis cahaya yang bermacam-macam dan hubungan mereka satu sama lain dibahas secara detail dalam sangat banyak tempat dalam buku ini. Dia, dengan menggunakan kerangka dan metode filsafat iluminasi membahas tentang kosmologi, khususnya gerak benda-benda langit (falak) dan juga membahas tentang persepsi indera dan potensi serta kekuatan yang dibentuk oleh ruh manusia.

Di antara subyek yang paling penting yang dibahas dalam bagian ini adalah epistemologi iluminasi yang dikenal dengan ilmu hudhuri, pensucian jiwa, zuhud, dan riyadah. Suhrawardi, yang membahas subyek ilmu hudhuri dalam banyak tempat dari tulisannya, mengkaji tentang bagaimana jiwa mendapatkan ilmu terhadap dzatnya dan bagaimana kita dapat membuktikan bahwa ilmu ini secara kualitas didapatkan secara langsung dan tanpa perantara sama sekali. Di akhir kitab ini  Suhrawardi mengingatkan bahwa untuk mendapatkan ilmu ini menuntut  kezuhudan.

Setelah menelusuri secara singkat kitab-kitab hikmah iluminasi Suhrawardi, selanjutnya kita membahas secara singkat dan global beberapa karyanya yang berbahasa Persia, dimana untuk memahami irfan Suhrawardi karya-karya ini tidak hanya sangat penting, akan tetapi juga terhitung karya-karya terbaik sastera sufistik Persia.

Kitab Âwâz-e Par-e Jibrail
Karya ini membahas tentang pencari hakikat yang pergi ke Khanqâhi yang mempunyai dua pintu, dimana salah satu dari pintunya menghadap ke kota dan lainnya menghadap ke sahara. Pencari hakikat yang pergi ke sahara bertemu dengan dua orang syekh ruhani dan bertanya kepada mereka tentang rahasia penciptaan, stasiun-stasiun tarikat, dan bahaya-bahayanya.
Dialog yang mengiringi pertanyaan-pertanyaan tersebut menjelaskan tentang unsur-unsur fundamen doktrin dan pengajaran iluminasi dan adab untuk memasuki tarikat dimana untuk memahami rahasia-rahasia al-Qur'an merupakan suatu kemestian. Dalam kitab ini, yang terkenal sebagai salah satu karya sastera klasik Persia, Suhrawardi membahas landasan epistemologinya dengan pendekatan hikmah Ilahi, dengan pernyataannya, Kebanyakan benda-benda yang disaksikan oleh indera kamu semuanya merupakan senandung sayap Jibrail.  Dalam risalah yang sangat simbolik dan misteri ini, Suhrawardi menggunakan simbol-simbol tradisi irfan dan simbol-simbol lainnya yang hanya dipakai olehnya dan tidak ditemukan dalam sastera sufi klasik Persia.

Dapat dikatakan bahwa pandangan Suhrawardi tentang hakikat ilmu telah dibahas dalam kisah irfani ini. Dia dengan bahasa simbolik mengantar pembaca untuk mengetahui kemampuannya dalam meraih ilmu dan makrifat secara langsung dan tanpa perantara. Dia juga dengan menggunakan tradisi bahasa simbolik dan syair sufistik mengungkapkan bahasan dan dialog antara pengusung empirisisme, rasionalisme, dan pengusung metode makrifat irfani.

Kitab Aql-e Surkh
Dalam kitab Aql-e Surkh, kisah dimulai dengan pertanyaan bahwa apakah burung-burung memahami bahasa mereka satu sama lain? Burung rajawali memberikan jawaban positif, kemudian ia terperangkap pemburu-pemburu; mereka menutup matanya dan pelan-pelan membukanya. Burung rajawali berhadapan dengan seorang laki-laki merah yang mengklaim dirinya 'anak paling pertama penciptaan'. Dia juga adalah syekh (tua), sebab dia adalah perwakilan manusia sempurna, dimana dia sebelum penciptaan –dalam bentuk mitsali (alam idea)- hidup dalam kesempurnaan sejati. Dan dia juga adalah muda, sebab ditinjau dari sudut pandang ontologikal dinisbahkan dengan Tuhan yang azali, karena itu dia dibanding dengan eksistensi yang paling qadim mempunyai jarak yang sangat jauh.

Kemudian Suhrawardi menggunakan bahasa simbolik seperti gunung Qâf, cerita Zâl, Rustam dan tokoh-tokoh kesatria yang terdapat dalam Syâh Nâmeh Firdausi (karya sastera Persia yang sangat terkenal dan sangat bernilai tinggi). Qâf adalah nama sebuah gunung dimana Simurgh (simbol dzat Ilahi) berdiam di puncaknya. Zâl yang lahir dengan rambut putih -merupakan simbol akal dan kesucian- menapak di bawah kaki gunung Qâf. Simurgh membawa Zâl kesisinya dan membimbingnya sampai besar. Kemudian Zâl menikah dengan Tuhmineh dan lahirlah dari mereka Rustam. Rustam –tokoh kesatria Syâh Nâmeh- adalah seorang laki-laki yang pada akhirnya menemukan jati dirinya. Kendatipun Firdausi menekankan alur kisah Syâh Nâmeh pada dimensi kekesatriaan dan sejarah legendaris orang-orang Iran, akan tetapi Suhrawardi memusatkan perhatiannya pada isyarah dan dimensi irfaninya.

Dalam kitab ini, pandangan Suhrawardi tentang ilmu dijelaskan dengan bahasa simbolik serupa dengan bahasa dalam kitab Âwâz-e Par-e Jibrail. Dia, disamping menggunakan simbol-simbol baru, juga mengungkapkan subyek-subyek historis filsafat dan irfan Islami seperti perbedaan antara potensi rasionalitas yang disebutnya dengan akal partikular, dan akal yang dia sebut dengan akal universal. Menurut Suhrawardi, dasar mendapatkan ilmu adalah saling interaksi akal partikular dengan akal universal.

Kitab Ruzi Bâ Jamâ'at-e Sufiyân
Cerita ini dimulai dalam sebuah Khanqâhi dimana sekelompok sufi sedang memperbincangkan dasar-dasar maknawi syekh-syekh mereka dan pandangan mereka tentang penciptaan.  Suhrawardi yang berbicara dalam kedudukan seorang syekh, menolak pertanyaan-pertanyaan yang hanya meminta penjelasan dan penguraian tentang hakikat alam dan sistem kosmos. Dia menghitung pertanyaan-pertanyaan ini adalah dangkal dan berkeyakinan bahwa terdapat orang-orang yang melihat zahir dan orang-orang yang memahami ilmu falak (kosmologi). Dan pada akhirnya orang-orang yang mencapai keahlian tentang ilmu falak; mereka ini adalah benar-benar ilmuan. Kemudian Suhrawardi memberikan nasehat dan pengajaran berkenaan kemungkinan orang-orang membuat potensinya menjadi aktual sehingga tanpa perantara menghasilkan makrifat. Dia berkata demikian: …apa saja yang di sisi kamu berharga, dari harta dan milik, wasilah dan kelezatan nafsani serta syahwani… (semua ini buanglah jauh-jauh)… jika kamu mengikuti anjuran ini maka dengan cepat penglihatan (batinmu) akan menjadi terang. 

Suhrawardi dalam kitab ini juga menekankan upaya untuk memperoleh ilmu batin, zuhud, dan melakukan riyadah. Menurutnya riyadah akan membuka mata batin seseorang dimana ini adalah jalan untuk meraih makrifat baginya. Dan makrifat seperti ini adalah sangat urgen dan asasi bagi orang yang ingin meraih dimensi batin ilmu Islam. Suhrawardi berkeyakinan bahwa ilmu hakiki hanya mungkin diperoleh ketika empirisisme dan rasionalisme diakhiri. Oleh karena itu,  menurut dia, menutup lima panca indera zahir merupakan syarat niscaya bagi terbukanya indera batin, dimana ini untuk menyingkap hakikat adalah suatu perkara yang daruri.

Kitab Ruzi Bâ Jamâ'at-e Sufiyân ini juga mengisyaratkan tentang kedudukan dan stasiun-stasiun yang bermacam-macam tarikat dan bagaimana orang-orang khusus mampu mencapainya dengan kesucian hati dan kejernihan pandangan. Suhrawardi dalam kitab ini juga membicarakan tentang dialognya dengan jamaah sufi dan pandangan syekh-syekh mereka tentang pencapaian terhadap hakikat serta membandingkan pandangannya dengan pandangan mereka.
Tentu dengan menelusuri secara singkat dan global karya-karya seykh isyraq ini belum menyampaikan kita pada pengenalan terhadap filsafat dan irfannya, karena itu jika ada kesempatan maka kita akan berusaha memasuki babak pembahasan tentang  subyek-subyek spesifik dari filsafat dan irfannya.[]

*Penulis adalah Pengasuh Bagenda Ali Institut

Posting Komentar

0 Komentar