Keutamaan Manusia atas Binatang

Oleh Syamsunar Nurdin*

Ayatollah Syekh Behjat rh: Qurb (kedekatan pada Tuhan) mempunyai tingkatan-tingkatan dan paling tingginya itu adalah Liqa (pertemuan).
Dan setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan qurb terdapat muqarriby (yang mendekatkan), dimana mereka itu adalah shalat.

Keutamaan Manusia atas Binatang:
Manusia adalah maujud dinamis dan menyempurna, bukan maujud statis yang tak berkembang dan permanen. Manusia tidak seperti malaikat, iblis, kuda, sapi, kambing, tumbuhan dan batu, dimana maujud-maujud tersebut sudah ditetapkan derajat eksistensi dan esensinya.

Berbeda dengan manusia yang merupakan maujud terbuka, yakni menusia dapat menentukan derajat akhirnya sesuai dengan ikhtiarnya, apakah ia menjadi manusia basyar, manusia malaikat, manusia sempurna, ataukah ia menjadi manusia iblis atau manusia hewan pemangsa. Oleh karena itu, persepsi tentang nâtiq sebagai difrensi akhir manusia dalam ilmu logika tidaklah seluruhnya benar, sebab manusia dengan seluruh makrifat dan perbuatannya nantinya akan mengalami perubahan dan pergeseran dari kehewanan nâtiq murni mencapai suatu tahapan  eksistensi dan esensi akhir, dimana ini akan menentukan nasib akhirnya apakah ia tergolong manusia bahagia atau manusia malang dalam kehidupan selanjutnya sesudah mengalami kematian natural.
   
Menurut filosof makhluk manusia dari segi esensi lebih dekat dengan binatang-binatang (kuda, sapi, kambing, kucing, tikus, dan lain-lainnya), sebab dari segi kuiditas, manusia itu adalah hewan yang natiq (berlogika). Artinya manusia dari dimensi kegenusan (jins) sama dengan binatang-binatang lainnya, yakni bergenus hewan. Permasalahan sekarang apa yang membuat manusia berbeda dengan binatang lainnya  dari segi aktualisasi esensialitas?
     
Binatang dalam prilaku dan perbuatannya senantiasa berasaskan instink, mereka tidak dibimbing dan diarahkan oleh akal dan pengetahuan. Dalam artian binatang hanya mewarisi apa yang sudah Tuhan tetapkan pada kehidupan spesies mereka yang pertama, tidak terdapat perkembangan menuju pada kesempurnaan, baik secara vertikal maupun secara horizontal.

Kita lihat misalnya cara hidup masyarakat semut, kendatipun cara hidup bermasyarakat binatang tersebut adalah paling kompleks diantara binatang-binatang lainnya, tetapi cara hidup bermasyarakat semut tersebut tidak mengalami perubahan dan perkembangan. Atau kita lihat cara membuat rumah lebah, atau cara hidup binatang-binatang di hutan, atau anjing dan kucing yang banyak dipelihara dan dekat dengan manusia, meskipun kedua jenis hewan yang terakhir ini mengalami perkembangan akibat pelatihan yang diberikan manusia, tetapi hal itu hanya sifatnya kecil, dan dibanding apa yang diraih manusia dan apa yang berkembang pada masyarakat manusia maka hal itu tidak berarti sama sekali.

Namun manusia yang juga pada dasarnya tergolong jenis hewan (hewan yang berlogika), sebagian dari perbuatan dan tingkah lakunya berasaskan instink (gharizah) dan tabiat, sebab itu dalam konteks ini manusia tidak jauh berbeda dengan binatang-binatang lainnya, seperti kecenderungan  kawin, makan dan minum, melindungi diri, dan menyayangi anak-anaknya.

Adapun kelebihan esensi manusia dari esensi binatang-binatang lainnya adalah akal dan pikiran yang Tuhan berikan padanya. Dengan akal dan pikirannya, manusia dapat mengontrol instink dan tabiatnya, mengarahkan instink dan tabiatnya pada perilaku dan perbuatan khusus demi kebaikan dan kesempurnaannya. Bahkan lebih jauh, dengan akalnya manusia mampu menyingkap rahasia-rahasia semesta, serta  dapat menguak tabir-tabir hakikat eksistensi.

Oleh karena itu, jika manusia tidak menggunakan akal dan pikiran yang ada padanya dan hanya mengikuti instink dan kecenderungan tabiatnya, dalam kondisi ini manusia tidak berbeda dari binatang-binatang, bahkan manusia dari segi nilai dan esensi lebih rendah dari mereka.

Al-Quran dalam hal ini menyebutkan: “Dan sesungguhnya  Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda dan kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu laksana binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai .” (Qs. Al-A'raf: 179)

Sekarang jelas bagi kita adanya perbedaan mendasar antara manusia dengan binatang-binatang lainnya, yakni manusia untuk mencapai kehidupan insaniah yang ideal, tidak boleh hanya membatasi dirinya dengan mengikuti instink dan kecenderungan tabiatnya, tapi lebih dari itu potensi akal yang ada padanya harus digunakan dengan sebaik-baiknya.

Manusia harus dengan segala pilihan yang ada dan kebebasan yang ada mengambil pilihan dan ikhtiar yang tepat dalam mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan insaniahnya, sebab itu apabila manusia tidak melakukan hal demikian, maka ia akan hidup sia-sia di dunia seperti binatang-binatang lainnya (terlebih lagi di akhirat akan mendapatkan kesengsaraan abadi), dan manusia seperti ini menurut Al-Quran adalah paling buruknya binatang:  “Sesungguhnya seburuk-buruknya binatang pada sisi Allah adalah orang-orang yang pekak dan tuli (tidak mau mendengar dan memahami kebenaran), mereka adalah orang-orang yang tidak berakal (menggunakan akal) ”. (Qs. Al-Anfal:22)

*Penulis adalah Pengasuh Bagenda Ali Institut

Posting Komentar

0 Komentar