Imamah Dalam Irfan

Oleh Samsunar

Dari sudut pandang Irfan Islami, subyek Imamah dan kepemimpinan ruhani umat, adalah suatu subyek yang sangat penting dan mendasar. Dalam masalah ini pertama mesti dijelaskan terlebih dahulu tentang kedudukan manusia dalam sistem eksistensi dan kemudian diisyaratkan tentang Insan Kamil serta sesudah itu penjelasan tentang kedudukan wali dalam tingkatan-tingkatan eksistensi sehingga permasalahan ini menjadi jelas.
Menurut urafa, alam eksistensi (manifestasi) mempunyai tingkatan-tingkatan dari yang paling tinggi turun ke yang paling rendah (dari asyraf ke akhas), yang mana hal ini disebut dengan busur turun, dan kemudian dari akhas bergerak naik ke asyraf yang disebut dengan busur naik, dimana ayat suci Al-Qur’an: انا لله و انا اليه راجعون mengisyaratkan tentang pergerakan busur turun dan busur naik ini.


Dalam pandangan ini, manusia yang merupakan makhluk asyraf (paling utama, paling mulia) haruslah memiliki kesucian dan ketinggian khusus. Yakni mempunyai suatu kedudukan yang sesuai dengan maqam khalifah Ilahi, yaitu paling dekatnya maujud dari seluruh maujud-maujud kepada Hak Swt. Oleh karena itu, dalam tingkatan-tingkatan eksistensi (manifestasi) manusia menempati suatu kedudukan yang menjadi mabda dan maad entitas-entitas lainnya.

Dalam sebuah penjelasan dikatakan bahwa, hakikat manusia tak punya awal dan tak punya akhir, apa saja yang diasumsikan merupakan derivasi dari manusia dan berakhir kepada manusia; dan manusia merupakan derivasi dari Hak Swt dan berakhir kepada-Nya. Karena itu, kesempurnaan manusia adalah keabadiannya, yakni ia sanggup menemukan kehidupan tayibah bagi dirinya, kendatipun seluruh objek-objek lainnya mengalami kefanaan, ia tidaklah fana. Yakni ia menemukan kehidupan eksistensial selain kehidupan natural ini yang sekarang dimilikinya.  Inilah hakikat Insan Kamil, yaitu manusia yang sampai pada keaktualan, yang menemukan unitas eksistensial dengan Nafas Rahmani.

Berdasarkan ini, maka Insan Kamil dalam piramida eksistensi mempunyai maqam dan kedudukan sangat utama. Dia menjadi tempat tajalli nama-nama dan sifat-sifat Ilahi serta lokus manifestasi Al-Ismul A’zham Tuhan. Dia Khalifah Tuhan, Wali Tuhan, dan Imam Umat, dan dengan perantaraannya alam dan manusia diciptakan, serta dengan perantaraannya umat manusia mendapatkan faidh hidayah Ilahi.

Oleh karena itu, keberadaan nabi, wali, dan imam adalah suatu kemestian untuk membawa manusia kepada cahaya hidayah, derajat tinggi, dan kesempurnaan eksistensial. Dalam seluruh priode zaman, seorang nabi atau rasul serta sesudahnya seorang washi atau wali sebagai pelanjut mereka senantiasa bergantian berdatangan. Sistem kenabian Ilahiah ini dimulai dari hadhrat Nabi Adam as, hingga kedatangan nabi dan rasul terakhir Hadrat Khatam Saw, dimana tidak ada lagi nabi dan rasul yang datang sesudahnya. Sebagai pelanjut Hadrat Khatam Muhammad Saw, Tuhan telah menetapkan dua belas washi (imam), dimana yang paling akhir dari mereka adalah mentari khatam walayah Hadhrat Mahdi as, yang mengemban penerimaan faidh dan hidayah Tuhan serta menyampaikannya kepada seluruh manusia.

Urafa memandang bahwa substansi awal ciptaan adalah ruh dan nur Muhammadi Saw. Mereka berpandangan tentang keberadaan dua sisi dari ruh tersebut. Satu sisi dari itu mereka sebut walayah, dimana ia menerima emanasi Hak Swt dan satu sisinya lagi mereka sebut nubuwah yang menyampaikan faidh kepada seluruh manusia yang didapatkannya dari Hak Swt.   Oleh karena itu, perjalanan kesempurnaan secara busur naik menjadikan walayah adalah batin daripada nubuwah, sedangkan pengembanan misi dan rahasia-rahasia Ilahiah menjadikan walayah merupakan kelanjutan daripada batin kenabian.

Nabi Ibrahim as meraih maqam keimamahan setelah melewati berbagai tahap ujian, firman Tuhan:
و اذ ابتلي ابراهيم ربه بكلمات فاتمهن قال اني جاعلك للناس اماما قال و من ذريتي قال لا ينال عهدي الظلمين
“Dan ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya, Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia, Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku, Allah berfirman: Janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim”.

Ketika Hadhrat Ibrahim as telah melewati seluruh tahap-tahap ruhani dan maknawi dengan suluk kepada Hak Swt dan suluk dalam Hak Swt, dan telah sampai pada akhir dan fana pada Hak Swt, Tuhan berkata: Aku menyampaikanmu pada maqam Imam, yang merupakan baqa sesudah fana dan rujuk dari Hak Swt kepada makhluk, sehingga kamu memberi hidayah masyarakat kepada-Ku, dan mereka dengan mengikutimu mendapatkan hidayah dan kesempurnaan wujudi. Hadhrat Ibrahim as menginginkan kedudukan ini juga bagi keturunannya. Akan tetapi sesuai penjelasan ayat ini, keimamahan tidak akan diperoleh kecuali orang-orang tersucikan (keimamahan tidak akan mengenai orang-orang zalim).

Oleh karena itu, Imam dari segi batin adalah walayah yang memberi hidayah batin kepada masyarakat. Ia tidak sama dengan nabi yang memberi petunjuk dan jalan kepada masyarakat secara lahir. Yakni Imam tidak hanya menunjuki jalan, bahkan menyertai masyarakat dan menyampaikan mereka kepada tujuan. Mungkin makna ini merupakan tajalli dari ayat:
و جعلناهم ائمة يهدون بامرنا 
“Dan Kami telah menjadikan mereka imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami”

Para wali Tuhan yang menempati maqam walayah, mereka itu merupakan pelanjut dan penyambung mentari cahaya kenabian kepada seluruh alam dan manusia. Mereka mengungkapkan rahasia-rahasia Ilahi yang ditutup dan ditinggal para nabi dan rasul Tuhan, sebab para nabi dan rasul ditugaskan untuk menjelaskan syariat dan hukum-hukum Ilahi serta membimbing manusia pada keimanan, ibadah, dan amal saleh.

Oleh karena itu, sesuatu yang tidak sempat terungkap oleh para nabi akan diungkap oleh washi dan wali-walinya. Para washi dan wali Tuhanlah yang membukakan rahasia-rahasia yang ditinggalkan tertutup oleh para nabi dan rasul. Banyak dari rahasia-rahasia kesturi hakikat dibiarkan tidak terjamah oleh jari-jari para nabi dan rasul, namun dibuka dan disiarkan oleh para khalifah, imam, wasi, dan wali mereka.

Di antara umat Nabi Khatam Muhammad Saw, tidak seorang pun yang punya klaim kewilayahan dan keimamahan yang memiliki kekhususan Insan Kamil kecuali Amirul Mukminin Ali as dan keturunannya yang maksum alaihimussalam.

Berasaskan inilah maka para mutashawiffah (para sufi baik itu Sunni maupun Syiah) tentang qutub, khalifah, dan insan kamil menerima  bentuk keyakinan imamah yang terdapat dalam mazhab Syiah, dan memperkenalkan hadhrat Mahdi as sebagai khatam auliya, insan kamil, dan qutub zaman ini.
Azizuddin Nasafi, dalam karyanya Kitab Al-Insan Al-kamil meletakkan dengan jelas nama Hadi, Mahdi, Imam, Shahib Zaman atas wujud Insan kamil.

Ibnu Arabi dalam sebuah tulisannya mengutarakan pandangan demikian ini, karena hukum-hukum syariat Muhammadi Saw berbeda dengan hukum-hukum syariat para nabi lainnya,  dan dengan kedatangannya maka berakhirlah kenabian, dengan ini, beliau Saw juga mempunyai hak bahwa walayah khususnya berakhir, yang mana (khatam walayahnya) ini namanya sesuai dengan namanya serta akhlaknya adalah akhlak beliau. Ia tidak lain adalah seorang yang bernama Mahdi, diketahui dan dinantikan serta dari itrahnya.

Sayid Haidar Amuli dalam menjelaskan pandangan Ibnu Arabi ini berkata, yang dimaksud dengan Insan Kamil di zaman sekarang adalah  Khatamul Auliya Muhammadi dan ia adalah Mahdi Shahib Zaman as.

Imam Khomeni dalam tafsir Surah Al-Ashr berkata: Kemungkinan “Ashr” adalah Insan Kamil yang misdak besarnya adalah Rasul Akram Saw dan Aimmah Huda alaihimussalam dan pada zaman kita, adalah Hadhrat Mahdi as.   

Suatu hal penting yang perlu diketahui bahwa dengan perwujudan dan kehadiran khatamul auliya (Imam Mahdi as) yang merupakan titik akhir walayah serta paling akhir person dan mazhar Insan Kamil, putaran walayah juga akan berakhir, dimana dengan penjelmaannya maka seluruh rahasia-rahasia eksistensi dan hakikat-hakikat Ilahiah akan menampak jelas, dan dengan kembalinya ke dzat Ilahi yang merupakan sumber dan tempat kembali totalitas, maka putaran alam pun juga berakhir, karena ia adalah sebab keterjagaan dan kesinambungan eksistensi alam serta sebab akhir darinya.

Jadi, dengan keberakhiran putarannya di alam maka putaran alam pun berakhir. Yakni seluruh gambaran-gambaran entitas menemukan penguraian dan berpindah ke akhirat, yakni dzat Hak Swt.
Mungkin tinjauan ini selaras dengan riwayat:
لولا الحجة لساخت الارض باهلها 
“Sekiranya tidak ada hujjah niscaya terbenam dan tenggelamlah bumi dengan penghuninya”

Demikian juga perkataan Imam Baqir as:
ولا تبقي الارض بغير امام حجة الله علي عباده
“Dan bumi tidak akan tinggal tanpa imam, hujah Tuhan atas hamba-Nya”

Tugas dan kewajiban umat manusia mengenal Imam zamannya, supaya mereka bisa terbimbing secara individual, sosial, dan masyarakat. Imam Shadiq as dalam hal ini berkata:
انكم لا تكون صالحين حتي تعرفوا و لا تعرفوان حتي تصدقوا و لا تصدقوان حتي تسلموا.
“Sesungguhnya kalian bukanlah orang-orang saleh hingga mengenalnya, dan tidaklah kalian mengenalnya hingga membenarkannya, dan tidaklah kalian membenarkannya hingga menerimanya.”

Mulla Shadra dalam mengomentari riwayat ini berkata: Tujuan dari hadits ini adalah menjelaskan kebutuhan manusia kepada Imam yang hak dalam aspek ketaatan mereka pada Hak Swt, bahwa tidak sempurna dan tidak konstruktif kecuali dengan makrifat dan pembenaran dalam bentuk yakin, dan hal itu tidak mungkin kecuali menjadikannya wilayatul amr (pemegang dan penanggung jawab perkara), pintu-pintu ilmu, hidayah, dan ahlul bait kenabian serta walayah. (Sy-Nr)*

Posting Komentar

0 Komentar