HUMANISME VS BARBARISME (Dalam Kasus Iran vs Amerika)


Oleh Muhammad Rusli Malik

(Pengasuh Rumah Kajian Alquran al-Barru--RKAB)

Sejarah Republik Islam Iran (RII) adalah sejarah kegagalan Amerika di Timur Tengah. Sejak revolusi yang menyungkurkan Raja piaraannya, Reza Pahlevi, Washington terus mengembargo dan menerapkan berbagai sanksi kepada Tehran.


Tapi tak ada yang mempan. Semua berakhir hampa. Dan dengan kerugian finansial yang tak terkira. Walaupun sudah berjalan 40 tahun. Sebaliknya, negeri sejuta mullah itu tetap eksis, kian kuat, dan bertambah luas pengaruhnya. Sehingga dalam tempo itu, tak ada kebijakan Amerika yang sukses di Timur Tengah.

Proyek paling ambisius dan prestisiusnya, Negara Israel, semakin terkurung oleh kekuatan-kekuatan resistensi (muqawamah) pro Iran.

Begitu juga Saudi, sekutu terdekatnya, menderita panas dingin setelah gagal di Irak, Suriah, dan Yaman. Bersama Israel, negara monarki absolut berbasis klan itu semakin tergerus wibawa politiknya, dan kehilangan relevansi kemanusiaanya karena banyaknya darah yang mereka tumpahkan.

Sementara RII, selain kekuatan-kekuatan politiknya kian terkonsolidasi, kemajuan ilmu pengetahuannya di segala bidang juga sangat mengesankan. Termasuk dalam hal teknologi militer.

Amerika dan sekutu baratnya bahkan mengakui bawah Tehran sudah menguasai teknologi nuklir dan sedang mengembangkannya. Itu sebabnya mereka memprakarsai pertemuan-pertemuan multilateral di bawah pengawasan IAEA (International Atomic Energy Agency) untuk mengendalikan pembangunan instalasi nuklirnya. Hasilnya adalah apa yang dikenal dengan JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action).

Rudal-rudal balistik Iran selain bertambah jauh jarak jelajahnya, juga semakin besar kapabilitasnya, dan kian presisi. Dan itu bukan hanya di atas kertas. Itu nyata. Sudah beberapa kali Iran membuktikannya. Dengan menyasar markas rahasia ISIS di Suriah dan, beberapa hari yang lalu, merontokkan Drone siluman canggih kebanggaan Amerika, RQ-4A Global Hawk.

Sebetulnya kemampuan rudal-rudal balistik RII itulah yang membuat pucat wajah Donald Trump dan mitra Zionisnya. Sehingga memaksanya cabut diri secara unilateral dari JCPOA yang digagas oleh pendahulunya, Barack Obama, bersama partner multilateralnya yang dikenal dengan P5+1 (Amerika, Inggeris, Perancis, Rusia, Cina, tambah Jerman). Disusul dengan penerapan sanksi demi sanksi kepada Tehran. Di sini Amerika mempertontonkan secara kasat mata sifat barbariannya dengan menginjak-injak hukum dan kesepakatan yang dibuatnya sendiri.

Sanksi keras yang Trump terapkan ke Iran dimaksudkan untuk memaksa Tehran bertekuk lutut dan mau merundingkan ulang JCPOA tersebut. Untuk selanjutnya menambahkan klausul baru yang berkenaan dengan pembatasan pengembangan rudal balistik. Itu sebabnya Trump berkali-kali meminta Tehran menghubunginya. Tetapi seluruh pejabat tinggi RII sepak bulat tak menghiraukan himbauannya.

Iran adalah negara dialogis. Negara yang menghormati hukum dan nilai-nilai kemanusiaan. Tapi pada saat yang sama juga punya prinsip yang tak bisa digoyah. Bagi Tehran, kalau Washington mau berunding kembali, dua syarat berikut harus dipenuhi: (1) Kembali ke JCPOA dan (2) Hentikan sanksi.

Karena Tehran tetap tak tergoyahkan dengan ancaman dan sanksi, terakhir Trump bahkan mengirim langsung utusan khusus ke Teheran. Bukan Pompeo atau Bolton. Tetapi Sinzo Abe, Perdana Menteri Jepang. Dan yang dituju bukan Presiden Rohani, tetapi Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei.

Lalu apa hasilnya? Ali Khamenei menjawab Abe: "Dia (Trump) bukan orang yang pantas memberi dan menerima pesan."

Oleh Trump dan konco-konco Zionisnya, jawaban itu dirasakan sebagai pukulan telak yang langsung mendarat di wajahnya. Itu sebabnya mereka langsung mempersiapkan sanksi baru. Dan yang disanksi adalah Ali Khamenei pribadi.

Sayangnya, ketika sanksi itu baru mau diterapkan, Washington kembali menerima kejutan dari Tehran. Yaitu pesawat tanpa awaknya yang dianggap paling siluman dan paling canggih, RQ-4A Global Hawk, berhasil dirontokkan oleh Pasukan Garda Revolusi (IRGC) dengan menggunakan rudal asli buatan dalam negeri, Khordad 3. Wajah Trump kembali serasa kena pukulan uppercut. Kepalanya pusing tujuh keliling. Pernyataan-pernyataannya semakin kacau, kontradiktif, dan selalu jadi bumerang.

Dan nasib Presiden Amerika itu selanjutnya bisa ditebak. Donald Trump sepertinya tidak akan terpilih kembali tahun depan. (**)

Posting Komentar

0 Komentar