Menengok Zaman, Meretas Sejarah


Refleksi Kehidupan Sosial Dalam Bingkai Keberagaman

Oleh:  MN Assajjad bin Safri

Kebanyakan orang di zaman ini, sudah tak punya rasa malu untuk mengekspresikan bahkan mengapresiasikan perbuatan dosa dan kezaliman yang diperbuatnya, sekali pun di Bulan Suci Ramadhan.
Kenapa? Karena ghiro (rasa memiliki agama) dalam dirinya sudah tidak adalagi, hilang bahkan terkesang di kubur dalam-dalam, agar tatanan moral, nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dibahas, dikaji dan dirasakan dalam kehidupan ini. Boleh dikata, beda tipis dengan hukum rimba.
Menurut mereka yang larut dalam ephoria hidonistik, agama itu hanya simbol-simbol dari sebuah tradisi sekelompok orang yang bermoral dan beradab. Sehingga, Tuhan pun disebutnya sebuah kesenangan yang memabukkan fikirannya dengan cara-cara kotor yang dikemas dalam sebuah kegiatan sosial bernama hiburan malam dan konser pornografi.
Agama hanya dipandang sebagai tradisi kuno yang penuh aturan klasik yang diwariskan dari nenek moyangnya, bukan sebuah tatanan dan hukum fundamental yang harus dimiliki, dirasaka dan diimplementasikan dalam dirinya dan kehidupan dunia hingga akhirat.
Tidak heran, bila banyak orang yang melahirkan anak-anaknya, tak mampu menjadikannya anak yang soleh dan soleha. Kenapa? Karena orang tuanya dari start awalnya yang belum tertanam nilai-nilai agama yang suci dan disucikan. Coba bayangkan, kalimat suci dan disucikan saja banyak orang kelimpungan menginterpretasikan. Apatalagi dengan istilah Tuhan yang Tak bertahta atau ada namanya saja manusia tapi perbuatannya bukan manusia. Wajah atau mukanya manusia tapi kelakuannya bukan manusia.
Banyak tipe manasia seperti itu, dalam ayat-ayat Al-Quran banyak dikisahkan, tentang manusia punya teliga, punya mata dan punya hati tapi mereka tidak mau mendengar, tidak mau melihat dan menghayati ayat-ayat Allah SWT.  Istilah Al-Quran, mereka itu bagaikan binatang bahkan lebih hina dari binatang.
Semua anak-anak yang lahir dari rahim seorang ibu, diyakini lahir dalam keadaan fitrah (suci). Sialnya, kenapa setelah anak itu beranjak besar dan dewasa,  anak tersebut secara demonstran melakukan tindakan kurang ajar, amoral, asusila dan anarkis.
Herannya, ketika ditanya, apa agamamu? Mereka jawab, Islam.  Orang tuamu Agamanya apa? dijawabnya Islam!
Islam menjadi sebutan untuk dijadikan perisai keselamatan, tetapi alangkah celakanya, didalam dirinya bertahta sifat kemunafikan yang sudah berkarat sekian tahun lamanya. Makanya, jangan heran bila  ke mall naik angkot, berjalan di pesisir pantai dan jalan-jalan raya, ditemukan gerombolan anak muda yang berslogan Islam, pakai baju koko dan peci. Mereka dengan bangga demonstrasi didepan umum orang yang berpuasa merokok dan mengunyah perment dijalan-jalan.
Ketika seseorang bertanya Islamkah mereka? Islamkah agama orang tuanya? So pasti mereka menjawab iya, kami orang Islam. Namun jangan cemas, ketika mereka berceloteh, “lalu mau apa lho, ingat kalau agama gue lho hina, gue bacok lho,” cetus mereka.
Artinya apa? Doktrin tentang simbol agama itu ada, tetapi dalam kerangka prakteknya secara fikhi (hukum) mereka masing kurang bahkan ada kosong sama sekali. Mereka tidak pernah tahu, bagaimana cara ambil wudhu yang benar, bagaimana cara sholat yang benar, bagaimana cara thahara yang benar dan seterusnya.
Pertanyaan kemudian siapa yang mengosongkan ajaran agama dalam diri mereka? Apakah orang tuanya? Apakah lingkungannya yang membentuknya seperti itu? Apakah pendidikan yang salah program studinya? Padahal masjid sudah menjamur, TPA dan TKA atau PAUD ada disetiap pojok, kelompok majelis taklim pun tak kalah hebatnya hadir disetiap nuansa kehidupan. Ceramah-ceramah para kiyai dan ustadz kaliber dunia pun mampu kita nikmati lewat media sosial.
Lalu adakah yang salah cara berdakwah kita?
Kemana arah dakwah kita? Apa isinya? Apa maksud dan tujuannya? Apakah sekadar menyampaikan satu ayat, kemudian selesai. Ataukah sekadar berkhutbah untuk berharap "ampao yang gede" lalu memilah-milah tempat ceramah yang subur alias gendut isi ampaonya?
Semua elemen hendaknya hadap diri dalam melihat situasi dan kondisi zaman ini. Seberapa banyak waktu  terbuang di warkop untuk bercerita bisnis dan main game, ketimbang berdzikir diserambi masjid. Ada berapa banyak waktu terbuang pergi belanja di mall, dibandingkan kita itikaf di masjid dan di mushalla? Ada berapa banyak tersia-siakan waktu terbuang percuma dengan karokean, nonton sinema, mengurai gosip sana sini dan mencari kekurangan serta kesalahan orang dibandingkan mendatangi tempat ibadah lalu beristighfar dan bertasbih kepada Ilahi Robbi.
Bila kemudian urusan agama dipandang lebih kecil, bahkan mines dalam hitungan keuntungan duniawinya. Sementara urusan dunia dinilai sebagai tujuan akhir untuk segalanya. Apakah kemudian nama akhirat itu hanya sekadar simbol dan istilah belaka yang tak beraktual? Padahal nama akhirat, sebuah nama yang bermakna tujuan perjalanan menuju Sang Khalik (pencipta). Maka Tuhan pun menyeru hambanya dengan kalimat hadapkanlah wajahmu kepada Agama Alloh SWT dan janganlah bercerai berai.
Mencari rezki buat anak-anak dan keluarga yang halal dan baik adalah jihad,  tujuannya kelak mendapatkan sebongkah harapan di akhirat  nanti. Gerak langkah seperti ini merupakan jihad akbar yang mulia. Tapi apakah yang terjadi ketika perbuatan itu terbalik makna dan tujuannya.  Maksudnya, seolah-olah kerja mengurusi agama dan bekerja dalam institusi agama, namun perkara  tujuannya duniawi semata. Sebutlah dana ummat dikorupsi, Anak Yatim Piatu dieksploitasi, Dana bantuan sosial diselewengkan, Dana zakat harta dan infak sadakah tidak sampai pada sasaran.
Celakanya, yang berbuat seperti itu orang yang pada faseh baca kitab, model bajunya seperti wali suci, ucapannya bak motivator dan orator bahkan kiyai kelas dunia, namun naudzubillah...finishnya kedunia maya. Generasi macam apa ini, semua adegan dan karakter dari kaum Nabi Adam sampai Kaum Nabi Muhammad, menjadi miniatur dan mozaik di akhir zaman.
Pantas, bila ada orang ada yang bersifat kaum durjananya Nabi Nuh dan Nabi Luth, disamping itu tampak terlihat miniatur kaum jahilnya Nabi Ibrahim, Isa dan Muhammad SAW. Sebuah pelengkap sejarah yang harus diukir, dimana setiap zaman ada kaum yang hidup di zaman itu menciptakan cerita atau kisahnya di zamannya sendiri.
Di pojok sejarah dulu, kini dan akan datang senantiasa berdiri satu orang pemimpin yang membawa nuansa dan benderanya masing-masing. Terlepas apa makna bendera yang dibawanya. Pastinya, masing-masing pemimpin tersebut akan dimintai pertanggungjawabanya. Siapa pun orangnya, tak seorang pun akan lepas dari amanah dan tanggung jawabnya, semua akan dihadapkan di padang mahsyar nanti. Akhir kata, kembali menengok zaman, belajar banyak dari sejarah, Al-Quran adalah kita suci yang banyak bercerita tentang sejarah masa lalu, kini dan akan datang secara tuntas dan aktual. Saya mengajak diri saya sendiri dan bersama untuk terus belajar dan belajar terus sampai kita hembuskan nafas terakhir dengan kalimat suci Laa Ilaha Illallah...  
Semoga tulisan pendek ini ada manfaatnya.
Bila ada kata yang salah dan khilaf, maka saya sekeluarga mohon maaf lahir dan batin
Kebenaran itu datangnya dari Allah
Wassalam
by MN. Assajad bin Safri (insaf).

Posting Komentar

0 Komentar