Kisah Inspiratif Sang Professor “Bertangan Emas” Di Kab. Bantaeng

Mengenal Lebih Dekat Sosok Nurdin Abdullah
Kisah-Kisah Inspiratif Sang Professor “Bertangan Emas” 

Butta Toa "Disulap Menjadi Butta Bulaeng"

Reportase Suarni Marzuki 
(Kepala Perwakilan RealitasNews Bantaeng) 

Sejarah telah mengukir, bahwa selama dua periode memimpin Kabupaten Bantaeng (Butta Toa), pemilik nama lengkap Prof.DR. Ir. H. M. Nurdin Abdullah, M. Agr (akrab disapa Prof Nurdin) ini, memiliki kisah tersendiri dalam meretas karirnya. Sejak kecil Nurdin Abdullah, dikenal sebagai anak yang cerdas, disiplin dan mandiri serta sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.

Tidak heran, bila orang Sang Professor yang satu ini mampu membawa perubahan yang cukup signifikan. Sebut saja, dari Butta Toa (Tanah Tua) disulapnya menjadi Butta Bulaeng (Tanah Emas). Pasalnya, dengan hadirnya Professor Nurdin Abdullah di Bantaeng, kini masyarakat dan perekonomian Bantaeng terus meningkat, bahkan lapangan kerja buat putra-putri daerah dibangunnya untuk mengurangi angka pengangguran. Boleh dikata, bahwa tingkat sejahteraan penduduk Bantaeng sudah mengalami peningkatan.
Kisah Kecil Sang Professor   

Suatu ketika, Nurdin kecil mengawali niat dan langkahnya untuk membahagiakan sang bunda tercinta. Ia terinspirasi dari sebuah pengorbanan dan perjuangan seorang ibu yang dinilainya sebagai ‘perempuan perkasa’. 
Sebagai putra daerah yang lahir ditengah keluarga prajurit TNI, yang selalu berpindah tempat tugas dan tempat tinggal. Dari sinilah Nurdin  mendapat tempaan hidup yang keras, membuat dirinya, terdidik menjadi manusia disiplin,  mandiri dan tegas.
Kisah pedih  sosok Nurdin pun kerab dilanda cobaan. Ia tidak lahir dari laut yang tenang, tetapi dari samudera kehidupan yang penuh gelombang yang dahsyat. Tidak heran, bila ‘kapal’ Nurdin seringkali oleng dihantam badai dan gelombang. Namun, Nurdin yakin, bahwa badai pasti berlalu.
Kisah ini pun laksana gayung bersambut, suatu hari, diakhir tahun 1970-an, Sang bunda, Hj. Nuraeni, harus memboyong enam orang anaknya dari Pare-pare ke Makassar. Nuraeni memutuskan berjuang mencari nafkah di Kota Daeng, yakni Kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan.
Setelah bertahun-tahun menumpang di rumah keluarganya di Parepare. Rasa tidak nyaman dan membebani keluarga, menjadi alasannya dia ingin hijrah dari Parepare ke Makassar, keinginannya mencoba membangun keluarga dan membesarkan anak-anaknya. Padahal, saat itu dia belum tahu seperti apa itu Makassar, dan mau tinggal di mana.
Anak tertuanya, Nurdin Abdullah, saat itu yang masih duduk di bangku SMP Negeri 4 Parepare, harus ikut hijrah untuk sementara waktu. Sementara, suaminya, Haji Andi Abdullah, sedang bertugas sebagai Komandan Rayon Militer (Danramil) di Soppeng. Nuraeni harus menghidupi enam anaknya dengan penghasilan pas-pasan.
Sang bunda Nurdin saat itu harus berjualan, hingga usaha katering mahasiswa, di bilangan Jalan Bandang, kala itu.  Tentu, pahit getir kehidupan ini, membuat Nurdin harus tegar dan terus berjuang untuk kelangsunan hidup keluarganya.


Kisah Nurdin yang Tegar

Awal dari sinilah, cerita sang anak sulung, Nurdin Abdullah punya tekad yang kuat. Dia ingin membahagiakan ibunya. Nurdin kembali ke Parepare melanjutkan SMP, sambil bekerja. Di Kota itu, Nurdin secara rutin harus pukul 04.00 dini hari, lalu berjalan kaki ke sekolah yang jauhnya lima kilometer.
Sepulang sekolah, Nurdin mengepel lantai, dan mengelap jendela sekolah, hingga menjadi tukang pekerja taman. Upahnya lumayan, kata Nurdin, cukup untuk membiayai sekolah, dan hidup mandiri.
Cita-citanya yang mulia, ingin membahagiakan ibunya, mengantar Nurdin terus melanjutkan sekolahnya ke SMA Negeri 5 Makassar, sambil kerja. Nurdin bahkan pernah berjualan batu merah.  Tak kalah uniknya, Nurdin pernah menyebut, bahwa ada satu makanan favoritnya yang kerap jadi bekal orang tuanya saat ke Parepare, yakni Putu Pesse.

Kisah Pernikahan yang Unik

Kisah Nurdin bergulir laksana laju roda kehidupan. Walhasil, lulus tes menjadi Mahasiswa Universitas Hasanuddin, Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Saat itu, dia berkenalan dengan Liestiaty Fachruddin, putri Rektor Unhas saat itu, Prof Dr Fachruddin. Hari berlanjut, hingga dia memberanikan diri melamar putri rektor tersebut.
Nurdin berkisah, saat itu dia memboyong kedua orang tuanya ke rumah jabatan Rektor Unhas, di Jalan RA Kartini. "Orang tua awalnya mengingatkan, kita ini mau melamar anak rektor, dan tidak punya apa-apa. Tapi saya bilang, saya punya uang tabungan senilai Rp 5 juta saat itu," jelas Nurdin.
Dia punya perhitungan yang sederhana, jika uang mahar yang diminta tidak bisa dipenuhi, ya mundur. Sesampai di rumah rektor ke delapan Unhas itu, lamaran dan rencana pernikahan pun dibicarakan. Nurdin mengaku cukup grogi, karena sepanjang pembicaraan, belum ada uang mahar disinggung.
"Sampai selesai, tidak ada uang mahar dibicarakan. Ternyata memang beliau (Prof Fachruddin) tidak terlalu mempermasalahkan uang mahar itu," tutur Nurdin.
Akhirnya, resepsi pernikahan pun digelar, dengan adat Bantaeng-Makassar. Supaya terkesan ada mahar, Nurdin menggunakan uang tabungannya dengan membeli mobil Kijang Pickup senilai Rp4,5 juta. Mobil tersebut digunakan untuk mengangkut barang-barang pernikahan dari Bantaeng.
"Jadi, saat menikah, disebutlah 'dengan mahar berupa satu unit mobil'," kenang Nurdin.
Nurdin menikahi Lies, di MGH (Makassar Golden Hotel), disaat dia masih berstatus mahasiswa. Karena status itu pula, dia kerap merasa tidak enak tinggal di rumah mertua. Meskipun, rumah jabatan Rektor itu cukup luas, dengan belasan kamar di dalamnya.
"Kadang-kadang kita ditanya sama mertua, adaji uangmu nak," tuturnya.
Ada beberapa momen yang berkesan bagi dia, di masa-masa awal membangun rumah tangga. "Waktu selesai menikah, ternyata biaya penggunaan ruangan di MGH itu belum dibayar. Akhirnya disepakati, seperdua biayanya ditanggung oleh keluarga saya. Saya akhirnya harus cari uang, saya jadi petugas foto KTP, berkeliling sampai ke Palopo. Duitnya cukup untuk bayar gedung itu," tuturnya.
Pernah juga, di saat istrinya melahirkan anak pertama, dan dibawa ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Sitti Khadijah. "Saat itu, saya sudah selesai Sarjana S1. Karena anak rektor, istri saya langsung dirawat di VIP. Padahal, saya yang tanggung biayanya tidak punya uang," tukas dia. Akhirnya, biayanya ditanggung mertua.

Kisah Membangun Rumah Tangga
Setelah melahirkan anak pertama, Nurdin memutuskan meninggalkan rumah jabatan rektor. Kepada Mertuanya, Nurdin menyampaikan sudah punya rumah yang siap ditinggali. Padahal, rumah yang terletak di belakang Kantor Dinas Bina Marga Sulsel itu milik seorang temannya yang kebetulan kosong. "Pemiliknya pindah ke Palu, dan saya menjadi penjaga rumah itu," tutur dia.
Berkat pernikahan dengan puteri rektor itu, Nurdin mengubah nasibnya. Dia meraih beasiswa pascasarjana ke Universitas Kyushu Jepang, dan mendapat jaringan luas, hingga menjadi pengusaha. Dia akhirnya sering mentraktir ibunya makan di berbagai warung kesukaannya. "Ibu saya itu kalau punya uang, pasti pergi makan di warung Pangkep Andalas. Kalau bukan itu, makan Ayam Bakar Sulawesi. Saya juga akhirnya ikut suka makan di sana," tutur Nurdin.

Kisah Kesuksesan Nurdin

Kunci utama yang Nurdin miliki adalah kejujuran dan kerja keras. Terlihat saat kuliah di luar negeri, Nurdin mengikuti banyak kegiatan ekstra. Membangun relasi dengan pemerintah kota, pengusaha-pengusaha Jepang, hingga aktif di organisasi senat mahasiswa.
Nurdin menyelesaikan jenjang Magister dan Doktor Bidang Agrikultur dalam rentang waktu enam tahun lebih. Selama itu pula, dia memimpin organisasi yang menghimpun mahasiswa-mahasiswa asing di Kyushu, namanya Fosa. Saat itu, di sekitar tahun 1990, pertumbuhan ekonomi Jepang cukup pesat. Banyak pengusaha Jepang yang ingin berinvestasi ke luar negeri.
Saat Nurdin menjadi ketua Fosa, dia menyusun program presentase terkait potensi negara masing-masing mahasiswa asing di Universitas Kyushu. Bagi seorang Nurdin, ia mempresentasekan potensi negerinya di depan pengusaha-pengusaha. Mahasiswa-mahasiswa ini juga harus siap mengantarkan pengusaha ke negerinya, dan memediasi proses investasinya, agar pengusaha ini tertarik.

Kisah Nurdin Jadi Teknokrat
Peraih penghargaan bidang pertanian dari Presiden pada 2009 itu, terus memberikan harapan. Menurutnya, Fosa juga membuat program distribusi barang-barang perabot bekas warga Jepang, ke sejumlah warga lain yang membutuhkan. Itu membuat Fosa menjadi organisasi yang dekat dengan pemerintah, dan mendapat anggaran lima juta yen setiap tahun.
"Kita bikin program rekreasi keluarga, dan mendapat banyak sponsor bank-bank," tuturnya sembari memperlihatkan program presentase potensi daerah itu.
Nurdin dipercaya oleh para pengusaha, salah satunya pengusaha yang bergerak dalam hasil laut. Nurdin memperkenalkan potensi ikan tuna yang besar di Indonesia. Maka, dengan saham dari perusahaan tersebut, Nurdin mendirikan Some Kawa Industry Co Japan di Bali. Perusahaan itu membantu mendorong daya saing ekspor ikan Indonesia. Bahkan sukses menyelamatkan satu perusahaan BUMN, PT Perikanan Samudera Besar, dari ancaman failit.
Nurdin yang belajar banyak pola penangkapan ikan dari Jepang, dengan status jebolan S3 Universitas Kyushu, kerja keras dan ikut berlayar mengarungi samudera, bersama para nelayan penangkap tuna. "Bayangkan kerja kita waktu itu dari pukul 15.00 sore sampai pukul 03.00 subuh. Kita tidak pulang sebelum masuk itu ikan ke dalam kapal pengangkut," jelasnya.
Dengan teknik penangkapan ikan yang lebih efektif, Nurdin membuat kualitas ekspor ikan-ikan yang ditangkap meningkat. "Awalnya cuma 30 persen hasil tangkap yang layak ekspor, karena sebagian di antaranya rusak terbentur geladak kapal. Kita bisa tingkatkan sampai 80 persen," terangnya.
Perusahaan itu akhirnya menjadi eksportir ikan terbesar di Indonesia. Kerja keras dan kejujuran Nurdin kian mendapat perhatian investor Jepang dan Nurdin kembali mendapat tawaran untuk mendirikan industri pengolahan kayu menjadi batsudan dan benda budaya Jepang, PT Maruki International. " Waktu itu, saya dikasi modal US$2,7 juta untuk membangun pabrik. Nilainya sebenarnya masih terlalu kecil," jelasnya.
Namun, dia tidak menolak tawaran itu. Dia tetap melihat peluangnya ada. "Waktu itu sedang krisis, dan nilai rupiah terus melemah, terhadap dolar. Bayangkan, dari kurs Rp2000 naik terus bergerak menjadi belasan ribu. Jadi, saya tetap simpan modal US$2,7 juta itu.
Menurut Nurdin, Maruki ini Ia kembangkan dengan uang pribadi dahulu, saat mengelola perusahaan penangkapan ikan tuna. Sampai nilai tukar rupiah menembus angka tertinggi saat itu, Rp17 ribu, saya langsung tukar rupiah, " jelas dia.
Alhasil, kata Nurdin, duit yang awalnya hanya cukup untuk membangun satu unit pabrik pengolahan kayu, akhirnya cukup untuk membangun tujuh unit pabrik. Perusahaan itu tumbuh besar. Dengan keuntungan yang besar itu, Nurdin akhirnya mendirikan sebuah yayasan, Maruki Foundation, yang konsen memberikan beasiswa kepada mahasiswa dan pelajar.

Kisah Nurdin Abdullah Jadi Bupati

Menjadi Bupati di Kabupaten Bantaeng, bukanlah cita-cita Nurdin Abdullah. Menurut Nurdin, jabatan itu sebenarnya selalu dia hindari. Namun, ada pesan dari leluhur keturunan Raja Bantaeng ke-28, Karaeng Pawilloi itu, memang memutuskan maju sebagai calon Bupati Bantaeng, 2008 silam.
Usai didatangi hampir 3.000 masyarakat Bantaeng. Namun, Nurdin akui bahwa jauh sebelum itu, dorongan untuk menjadi bupati sudah sering datang dari ayahnya, Haji Andi Abdullah, putra Karaeng Latippa yang juga cucu Karaeng Pawilloi. Nurdin menuturkan, sering dia merasa emosi, saat Andi Abdullah memintanya memimpin Bantaeng. Pasalnya, istri, mertua, dan pemilik perusahaan yang sekarang dia pimpin tidak setuju. Hingga akhirnya, menjelang akhir hayat Andi Abdullah, pesan itu kembali diutarakannya.
"Katanya, permintaan itu berasal dari luluhur saya. Katanya saya harus kembali, dan memperbaiki Balla Lompoa (rumah adat Bantaeng). Dia mengaku tidak tenang sebelum menerima jawaban saya. Setelah saya mengiyakan, lalu keesokan harinya, dia sudah meninggal dunia," tutur Nurdin.
Selain ayahnya, Nurdin juga pernah mendapat permohonan dari kalangan Kiyai di Bantaeng. "Mereka bermohon dengan alasan ingin menurunkan saya dari kenikmatan," kata dia. Nurdin yang berpasangan dengan Asli Mustadjab itu terpilih dan meraih suara sampai 46 persen pada pemilukada Bantaeng, 2008 silam.
Pada Pemilukada 2013 lalu, dia meraih 83 persen suara, dan kembali memimpin Bantaeng periode kedua. Selesaikan Masalah dengan Dialog DUA pekan lalu, sekelompok warga melakukan protes terhadap proyek pembangunan pelabuhan di Desa Papanloe, Kecamatan Pajukukang, Bantaeng. Petugas survei yang sedang mengukur potensi lahan yang akan dimanfaatkan oleh China Harbour Company tersebut, harus berhenti bekerja, dan melaporkannya ke Nurdin Abdullah.
Nurdin akhirnya mengumpulkan camat dan kepala desa setempat. Setelah diketahui, warga yang protes hanya berasal dari satu dusun. Lalu Nurdin menyampaikan, dirinya akan melaksanakan salat Jumat di dusun tersebut. Kebetulan, hari itu adalah Jumat. Camat dan Kepala Desa melarang, karena dusun tersebut, cukup rawan dan berbahaya. Tapi Nurdin tetap mendesak. Akhirnya, Nurdin salat Jumat di dusun tersebut. Benar saja, wajah-wajah masyarakat di dusun itu tidak bersahabat.
Di dalam masjid, Kepala Dusun berdiri dan menyampaikan pidatonya. Dia membahas tentang lahan-lahan yang dijual, kawasan laut akan dirampas dari para petani rumput laut, katanya. Warga akhirnya kehilangan pekerjaan, dan bermigrasi ke Malaysia.
Usai pidato, giliran Nurdin menyampaikan pidato. Dia bertanya, tentang daerah tersebut lima tahun silam. Saat itu, air sangat sulit dicari. Musim tanam padi hanya sekali dalam setahun. Namun, sejak proyek hilirisasi, air sudah melimpah. Tanah yang harganya hanya sekitar Rp 20 juta perhektare, meningkat menjadi Rp75 juta, hingga ratusan juta. Jemaah masjid mengangguk.
Nurdin melanjutkan ceritanya. Industri smelter yang dibangunnya bakal meraup tenaga kerja lebih besar. Kawasan pesisir justru akan ditata, sehingga petani rumput laut bisa meraup penghasilan lebih besar. Nurdin lalu warga berdialog, hingga diketahui ada yang memprovokasi warga di dusun tersebut. Cara-cara dialog dan rutin blusukan ke masyarakat dilakukan Nurdin.

Dia membebaskan ratusan hektare lahan untuk kawasan industri smelter Bantaeng Industrial Park, dengan protes yang minim. "Karena aktivitas ini, biasanya pulang ke rumah saat larut malam, dan bangun subuh-subuh," ujar dia. Di Bantaeng, Nurdin cukup sering ditemui di Pantai Seruni saat sore hari, dan sering joging dan bersepeda di pagi hari. "Kalau pagi, sampai jam 9 saya terima tamu dari masyarakat di rumah, baru ke kantor," ujar Bupati yang pernah masuk 12 calon Presiden alternatif versi Universitas Indonesia tersebut.
Nurdin Abdullah sukses menarik minat perusahaan asing untuk berinvestasi lebih dari Rp20 triliun ke Bantaeng. Jika itu terwujud, daerah itu bisa mendapat setoran sepuluh persen dari investasi. Nurdin menjalankan pemerintahan yang tidak kaku. Banyak persoalan diselesiakan di atas meja makan, secara non formal. Saat ini, rata-rata pertumbuhan ekonomi Bantaeng meningkat menjadi 8,9 persen, dengan angka pengangguran menurun dari 8 persen lima tahun lalu, menjadi 3,5 persen. Bantaeng kini masuk urutan kelima Kabupaten dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi di Sulawesi Selatan. Akhir Mei lalu, karena persahabatan, Nurdin kembali diberikan fasilitas dua unit ambulance (supermedic dan paramedic) serta dua unit mobil pemadam kebakaran modern dengan tangga panjang.
Pada 6 Juni lalu, Nurdin juga menerima Piala Adipura untuk Kabupaten Bantaeng. Penghargaan tertinggi di bidang kebersihan dan lingkungan hidup itu sudah kelima kalinya diterima (termasuk sertifikat). Di dalam pikirannya, hidup itu dijalani dengan ikhlas bekerja saja. "Ikhlas itu motivasi dalam bekerja. Tidak perlu mengharap imbalan yang banyak, yang penting kerja dulu," tukas Nurdin. (Safri/Nani/Int)

Posting Komentar

0 Komentar