Oleh : S a f r i M u s t a q i m
SIRI’
NA PACCE
Beberapa waktu yang lalu
penulis diundang untuk membawakan kajian tematik, tentang Budaya Siri’ Na Pacce
dan Arus Modernisme (Perspektif Agama dan Budaya) di Warkop Be Samart, Jl.
Talasalapang, Kota Makassar. Kali ini penulis kembali diundang untuk menyambung
pembahasan berkaitan dengan Siri’ na Pacce. Mungkin perlu penulis ajukan sebuah
pertanyaan, apa pentingnya kita membicarakan dan mengkaji budaya lokal (Bugis-Makassar),
seperti Siri’ na pacce dalam bingkai ke-Indonesia-an? Apakah Budaya Siri’ na
Pacce memiliki hubungan histori dengan ke-Indonesia-an kita? Lantas, apa yang
ingin kita petik dan diperoleh dalam kajian tematik budaya ini?
Siri’ na Pacce adalah
berasal dari bahasa Makassar, yang secara geologi berada di Kota Makassar,
Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba serta sebagian di
Kabupaten Maros dan Pangkep di Provinsi Sulawesi Selatan. Perlu diketahui pula
bahwa Provinsi Sulawesi Selatan terdapat sejumlah suku dan etnis didalamnya
saling berinteraksi, mulai dari Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar, Suku
Toraja dan etnis Tionghoa (China) serta masih banyak yang lainnya.
Dari sekian banyak suku dan
budaya di nusantara ini, hampir semua memiliki ciri khas, citra dan kharismatik
sendiri-sendiri dalam mengemas dan menampilkan kebudayaan ditengah
masyarakatnya. Oleh karena, Indonesia merupakan Negara yang berbudaya, sebab
memiliki ribuan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Meraoke. Maka ketika
kita berbicara budaya Siri’ na Pacce dalam bingkai ke-Indonesi-an, artinya kita
berbicara salah satu budaya yang ada di Negara Indonesia, yang memiliki konsep
dasar Negara Kebhinnekaan Tunggal Ika, berbeda tapi satu.
Dalam mengantar tulisan singkat
ini penulis mencoba mengambil salah satu sudut pandang dari Empat Pilar Negara
Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tuggal Ika, agar latar
belakang permasalahan kajian tematik budaya siri’na pacce lebih sederhana.
Sebelum jauh membahas antara
Siri’na pacce dan kebhinnekaan, maka penulis akan mereviu sedikit materi yang
lalu bahwa Siri’ dalam Bahasa Makassar menurut sudut pandang arti kata (Etimologi)
adalah 1. Malu-malu, 2. Hina,/aib, 3. Dengki / iri hati, 4 harga diri / kehormatan,
dan 5. Kesusilaan.
Siri’ menurut istilahnya
(Terminologi) adalah seseorang yang memiliki harga diri dan martabat
(kehormatan) akan jati dirinya sebagai manusia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, Siri’ ibarat bangunan jiwa yang
terdiri dari unsur sentimentality (perasaan halus) dan rasa malu, yang berdasarkan
nilai-nilai luhur manusia, saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya.
Siri’ pun mengalami ambiguitas (memiliki makna beragam dan pengertian).
Misalnya :
1. Ripakasiri’
atau Nipakasiri (Orang yang dilanggar harga dirinya).
2. Appakasiri’-siri’
(Orang yang bikin malu atau membuat aib dalam keluarga, Lingkungan dst).
3. Tappelaki
Siri’na atau Tappelami Siri’na (Orang yang sudah membuang rasa malunya)
4. Mate
Siri’ (Orang yang sudah mati harga dirinya atau sudah tidak punya perasaan malu
dalam jiwa orang tsb).
5. Siri’
– Siri’ (Orang yang punya malu, atau malu-malu)
Ripakasiri’
atau Nipakasiri adalah orang yang dilanggar harga dirinya. Siri’
seperti ini berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat
dan martabat keluarga. Siri’ ini sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar
karena taruhannya adalah nyawa.
Contoh kasus : Seorang
lelaki membawa lari seorang anak gadis orang (kawin lari). Maka dalam tradisi
orang Bugis Makassar, ini dimaksud ‘Nipakasiri’ pelaku kawin lari, baik
laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga
perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
Contoh lainnya adalah kasus
kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga
korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya
kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas
dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
“Sirikaji nanimmantang
attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na
olo-oloka”. Artinya, hanya karena Siri’ kita masih tetap hidup (eksis), kalau
sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang,
bahkan lebih hina daripada binatang.
Appakasiri’-siri’ adalah
orang yang bikin malu atau membuat aib dalam keluarga, Lingkungan dan seterusnya.
Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Orang Makassar berkata, Punna
tena siri’nu anggingrangko siri’. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko
degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu atau
harga diri, maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu atau
harga diri (Siri’).
Contoh : “Ikau tena mentong
bua-buanu a’jari tau…angngapai nu’ appakasiri’-siri’ tau toanu.
Artinya : Kaulah orang yang
tidak berguna, kenapa kau tega bikin malu orang tuamu / keluargamu.
Tappelaki
Siri’na atau Tappelami Siri’na adalah orang yang sudah
membuang rasa malunya. Artinya rasa malu seseorang itu sudah hilang, “terusik”
karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah
berjanji untuk membayarnya, maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga
untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah
ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si
berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan
dirinya sendiri.
Orang Bugis atau orang
Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’, ketika berutang tidak
perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri untuk membayarnya.
Misalnya:
“Punna
Teaki nisingara, Teako angngirangi…Tau angngirangaji antu nisingara, saba punna
tau nia inranna nampa tena nabayaraki, iyami antu tau tappela siri’ni.
Artinya : Kalau anda tak mau
ditagih, maka jangan meminjam/main kredit. Hanya orang yang punya pinjam saja
yang ditagih, sebab bila orang punya pinjam/kredit lantas tidak dibayar, maka
orang tsb adalah orang sudah kehilangan harga dirinya atau rasa malunya.
Mate
Siri’ adalah orang yang sudah mati harga dirinya, atau hilang
rasa malunya). Mate Siri’ seperti
ini berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang
mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu
(iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa
malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya
orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma busuk akan tercium di
mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di
tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan
nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia
lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya.
Nauzubillahi min-dzalik.
Contohnya : “Tenamo pa’
ballena angkullei pabajiki garring tau mateya siri’na, nasaba tau mateya
siri’na labbi na olo’-oloka.”
Artinya : “Sudah tidak ada
obatnya bagi orang yang mengidap penyakit Mati Harga Dirinya / sudah tiada sama
sekali rasa malunya, sebab orang yang sudah tidak ada harga dirinya lebih dari
pada binatang.”
Siri’
– Siri’ adalah orang yang punya malu, atau punya perasaan
malu-malu. Artinya, perasaan malunya lebih dominan dibandingkan hasratnya ingin
mengatakan atau melakukan sesuatu kepada seseorang.
Misalnya : “Sanna erokku
ampau bone lalang nyawaku, tapi siri-sirikka rikatte andi”.
Artinya : “Besar sekali hasratku
ini untuk mengucapkan isi hatiku kepadamu, namun aku malu-malu mengatakannya
kepadamu, duhai adindaku”.
Pacce
Pacce (Bahasa Makassar);
Pesse (Bahasa Bugis) arti katanya adalah 1. Pedih, 2. Perih, 3. Pedis, 4. Belas Kasih dan 5. Solidaritas
yang kuat
Kata Pacce, bila diuraikan
dalam Bahasa Makassar, akan melahirkan banyak pengertian. Pacce adalah rasa
solidaritas yang tinggi, bagi suku Bugis disebut “PESSE”. Kata pacce sudah membumi
dan tertanam dalam budaya leluhurnya orang Bugis-Makassar. Artinya, orang Bugis
– Makassar itu memiliki rasa belas kasihan yang besar dan rasa solidaritas
kepada sesamanya sangatlah tinggi. Tidak heran, bila orang Bugis-Makassar rasa
gotong royongnya, solidaritasnya, belas kasihnya kepada orang senantiasa kita
dapati disetiap lorong kehidupan.
Misalnya :
1. Bahasa
Makassar : “Ikau tena tong paccenu mange ri saribattannu”. Artinya: “Kau tidak memiliki belas kasihan
atau solidaritas yang kuat kepada saudaramu”.
2. Bahasa
Makassar :“Paccena nyawaku anciniki tallasanu ri bori taumaraenga”. Artinya : Pedihnya atau perihnya hatiku
melihat kondisi hidupmu di negeri orang.
3. Bahasa
Bugis : “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatokkong”. Artinya, Antara kau dan aku
sama, kita harus saling menyayangi dan saling membantu satu sama lainnya. (ketika
seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka
keluarga yang lain ikut membantu).
Siri na Pacce Dalam Bingkai Kebhinnekaan
Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang besar dan wilayah yang sangat luas, terdiri dari ribuan pulau,
aneka ragam, bahasa, suku bangsa dan budaya. Tidak heran, bila bangsa Indonesia
dikenal sebagai bangsa yang berbudaya. Dengan keaneka ragaman budaya tersebut
bangsa Indonesia kaya dengan aneka keseniannya.
Istilah bingkai
ke-Indonesia-an artinya “dalam lingkup ke-bhinekaan”. Pengertian Kebhinekaan
merupakan salah satu Pilar Kebangsaan, yaitu berbeda-beda tapi tetap satu.
Empat Pilar itu adalah 4 unsur penyusunan kemerdekaan kebangsaan Indonesia,
yakni Pancasila, UUD45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, empat pilar ini adalah
satu paket pembicaraan untuk mendapatkan feel jiwa yang merdekanya bangsa
indonesia, baik jiwa merdeka dalam arti berdikari-berdaulat, maupun jiwa
merdeka dalam arti bertoleransi-bersatu.
Berangkat pemahaman
kebhinekaan tunggal ika tersebut, melahirkan satu kesepahaman bahwa diantara
ribuan budaya yang ada di nusantara, meski berbeda-beda tapi tetap satu yakni
Budaya Indonesia, sehingga orang Bugis-Makassar yang memiliki budaya Siri’na
Pacce (rasa malu dan harga diri---rasa solidaritas dan belas kasih pada
sesama), dapat diartikan sebagai Budaya Indonesia.
Walau pun secara tekstualnya berbeda dalam konsep
pemahaman Siri’na pacce ada di tanah Bugis-Makassar, sebab berbeda dari kultur
suku dan bahasanya, akan tetapi bisa jadi secara kontekstualnya Siri’na pacce
(yang istilahnya punya harga diri dan malu serta solidaritas). Penulis yakini, istilah siri’na pacce pasti
dimiliki oleh suku lain diluar Suku Bugis-Makassar, hanya konsonan kata yang
berbeda. Pasalnya, setiap suku yang memiliki kebudayaan, maka disitu harga diri
dan rasa malu bersemayam serta rasa solidaritas dijunjung tinggi, sehingga rasa
saling harga menghargai---saling hormat menghormati---tolong menolong, menjadi
regulasi (atura main) dalam kehidupan yang dipatuhi sebagai tatanan nilai dan
norma-norma hokum untuk tegaknya sebuah kultur atau kebudayaan.
Penulis ingin meminjam
istilah Mukti Ali, bahwa sejarah itu bergerak ke arah tujuan tertentu, kesanggupan
manusia untuk mengarahkan jalannya sejarah itu adalah arti modern. Untuk
menjadi modern sesorang tidak harus hidup dalam lingkungan tertentu, tetapi ia
sanggup memilih karenanya manusia dapat menggunakan segala kemungkinan yang
terbuka baginya.
Sebuah Puisi ditulis oleh
Puji Santoso, peneliti utama bidang sastra pada Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa :
HARGA DIRI
Ajining dhiri ana lathi (bahasa Jawa)
Ajining raga ana busana
Harga diri ada pada ucapan
Harga wadak ada pada pakaian
Ajining raga ana busana
Harga diri ada pada ucapan
Harga wadak ada pada pakaian
Ucapan memegang peranan utama
Siapa saja mereka dapat dipercaya
Bilamana budi bahasa, tutur katanya
Selalu cermat, tepat, dan juga terjaga
Berhati-hatilah dalam hal perkataan
Tidak hanya secara lisan diucapkan
Tetapi juga secara tulis disampaikan
Semua harus dengan kebijaksanaan
Berbicara dan bersikap akan kebenaran
Sampaikanlah dengan cara yang sopan
Supaya tidak menyakitkan dan merugikan
Siapa saja membaca dan mendengarkan
Harga
diri adalah penilaian tinggi atau rendah yang dibuat individu tentang hal-hal
yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana individu menyukai
dirinya sebagai individu yang mampu,
penting dan berharga. Artinya, harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana
cara seseorang berperilaku di dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam
menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai,
cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Bila seseorang mempunyai
harga diri yang tinggi, maka perilakunya juga akan tinggi, sedangkan bila harga
dirinya rendah, akan tercermin pada perilakunya yang negatif pula.
Sementara
itu, ‘Siri’na pacce’ dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika masih kurang menarik
bagi pihak-pihak untuk membahas dan memikirkan bagaimana implementasinya,
padahal Bhinneka Tunggal Ika memegang peran yang sangat penting bagi
negara-bangsa yang sangat pluralistik ini. Dengan bertitik tolak dari pemikiran
ini, dicoba untuk membahas makna ‘Siri’na pacce’ dalam perspektif Bhinneka
Tunggal Ika dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sehingga ‘Siri’na pacce’ benar-benar dapat menjadi tiang penyangga
yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Penulis tidak akan jauh
membahas tentang semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkapkan pertama kali
oleh mPu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa
pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti
tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika
tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu
itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip
dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi
adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu.
Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.
Semboyan Bhinneka Tunggal
Ika yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan e Pluribus
Unum, semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity in unity,
perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar
empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman
dalam kesatuan telah diungkap oleh mPu Tantular lebih dahulu.
Penerapan Bhinneka Tunggal
Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasar pada Pancasila yang
telah ditetapkan oleh bangsa Indonesia menjadi dasar negaranya. Dengan demikian
maka penerapan Bhinneka Tunggal Ika harus dijiwai oleh konsep religiositas,
humanitas, nasionalitas, sovereinitas dan sosialitas. Hanya dengan ini maka
Bhinneka Tunggal Ika akan teraktualisasi dengan sepertinya.
KESIMPULAN
Bangsa Indonesia sangat
pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka
adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya
masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian
jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan
bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan
mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati,
mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya
secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus
eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya
negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya.
Suatu contoh sebelum terjadi
reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela
gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri
pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu.
Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan
yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang
berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya
reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian
ideal ini telah tergerus arus reformasi.
Menghormati pendapat pihak
lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar,
dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan
Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang
harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk
dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi,
tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai
keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dalam menerapkan Bhinneka
Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa
kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya
mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus
Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka
Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih,
rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk
memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan
golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya
mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
Bila setiap warganegara
memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi landasan
kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan
secara tepat dan benar insya Allah, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan
bersatu selamanya.
Mengutip sedikit tentang makalah
penulis, tentang Budaya Siri’ na Pacce dan Arus Modernisme, bahwa Modernisasi dapat dimaknai meniru Barat, atau
setidaknya mengikuti jejak masyarakat Barat. Hal ini memang fakta-faktanya
tetap, yakni desain-desain dan peralatan yang dipakai dalam riset modernisasi
adalah dikembangkan di Barat, oleh ilmuan Barat dan terpengaruh oleh cara-cara
berfikir Barat. Namun unsur-unsur pengetahun modern yang mula-mula dari Barat
dapat ditransfer, diadaptasi tanpa harus menjadi seperti orang Barat, meniru
yang berlebihan misalnya: gaya bicara, pergaulan, pola hidup inilah yang sering
diistilah dengan westernisasi.
Menurut Prof. Dr Mattulada,
siri’ dapat dipandang sebagai salah satu konsep cultural yang memberikan impact
aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah laku itu diamati sebagai
pernyataan atau perwujuda kebudayaan. Perwujudan dan kebudayaan, bukan lain
kenyataan-kenyataan yang lahir dari permanusian alam, untuk manfaat
sebesar-besarnya umat manusia.
Suatu konsep cultural,
memantapkan diri dalam suatu sistem budaya. Sistem kebudayaan itu sendiri
adalah rangkaian sejumlah konsep abstrak yang bersemayam dalam pikiran warga
terbanyak suatu persekutuan hidup.
Dalam istilah bahasa arab
adalah Siri’na pacce disebut sebagai ADAB. Nabi Muhammad SAW bersabda :“AL-Hayaan
Minal Imaani”. (malu itu adalah bagian dari iman).
Menurut para ahli fiqih dan
ahli hadits, kata ADAB mempunyai makna dan pengertian yang berbeda. Mereka
mengatakan bahwa pengertian adab adalah menggunakan perkataan, perbuatan, dan
hal ihwal yang bagus. Ada pula di antara mereka yang mengatakan bahwa adab
adalah meninggalkan sesuatu yang membawa kejelekan (aib).
Di samping itu ada yang
mengatakan bahwa pengertian adab adalah menghiasi diri dengan hiasan
orang-orang yang memiliki keutamaan. Menurut pendapat lain, arti adab adalah
tidak bermaksiat kepada Allah dan tidak merusak harga diri. Ada pula yang
mengatakan bahwa adab berarti takwa kepada Allah. Jadi, orang yang bertakwa
kepada Allah adalah orang yang beradab.
PENUTUP
“Sirikaji
nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami
angga’na olo-oloka”. Artinya, hanya karena Siri' (malu/harga diri dan
kehormatan) kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah Siri' (malu/harga diri
dan kehormatan) tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya
binatang, bahkan lebih hina daripada binatang. Nauzubillahi min-dzalik---Wallahu
Wa’lam
Makalah
dipaparkan di Warkop Be Smart Makassar, 05 Februari 2016
0 Komentar