“Siri’ Na Pacce” Dalam Bingkai Ke-Indonesia-an (Seri II)



Oleh : S a f r i   M u s t a q i m

SIRI’ NA PACCE
Beberapa waktu yang lalu penulis diundang untuk membawakan kajian tematik, tentang Budaya Siri’ Na Pacce dan Arus Modernisme (Perspektif Agama dan Budaya) di Warkop Be Samart, Jl. Talasalapang, Kota Makassar. Kali ini penulis kembali diundang untuk menyambung pembahasan berkaitan dengan Siri’ na Pacce. Mungkin perlu penulis ajukan sebuah pertanyaan, apa pentingnya kita membicarakan dan mengkaji budaya lokal (Bugis-Makassar), seperti Siri’ na pacce dalam bingkai ke-Indonesia-an? Apakah Budaya Siri’ na Pacce memiliki hubungan histori dengan ke-Indonesia-an kita? Lantas, apa yang ingin kita petik dan diperoleh dalam kajian tematik budaya ini?
Siri’ na Pacce adalah berasal dari bahasa Makassar, yang secara geologi berada di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba serta sebagian di Kabupaten Maros dan Pangkep di Provinsi Sulawesi Selatan. Perlu diketahui pula bahwa Provinsi Sulawesi Selatan terdapat sejumlah suku dan etnis didalamnya saling berinteraksi, mulai dari Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar, Suku Toraja dan etnis Tionghoa (China) serta masih banyak yang lainnya.
Dari sekian banyak suku dan budaya di nusantara ini, hampir semua memiliki ciri khas, citra dan kharismatik sendiri-sendiri dalam mengemas dan menampilkan kebudayaan ditengah masyarakatnya. Oleh karena, Indonesia merupakan Negara yang berbudaya, sebab memiliki ribuan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Meraoke. Maka ketika kita berbicara budaya Siri’ na Pacce dalam bingkai ke-Indonesi-an, artinya kita berbicara salah satu budaya yang ada di Negara Indonesia, yang memiliki konsep dasar Negara Kebhinnekaan Tunggal Ika, berbeda tapi satu.
Dalam mengantar tulisan singkat ini penulis mencoba mengambil salah satu sudut pandang dari Empat Pilar Negara Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tuggal Ika, agar latar belakang permasalahan kajian tematik budaya siri’na pacce lebih sederhana.
Sebelum jauh membahas antara Siri’na pacce dan kebhinnekaan, maka penulis akan mereviu sedikit materi yang lalu bahwa Siri’ dalam Bahasa Makassar menurut sudut pandang arti kata (Etimologi) adalah 1. Malu-malu, 2. Hina,/aib, 3. Dengki / iri hati, 4 harga diri / kehormatan, dan  5. Kesusilaan.
Siri’ menurut istilahnya (Terminologi) adalah seseorang yang memiliki harga diri dan martabat (kehormatan) akan jati dirinya sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, Siri’ ibarat bangunan jiwa yang terdiri dari unsur sentimentality (perasaan halus) dan rasa malu, yang berdasarkan nilai-nilai luhur manusia, saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Siri’ pun mengalami ambiguitas (memiliki makna beragam dan pengertian).
Misalnya :
1.     Ripakasiri’ atau Nipakasiri (Orang yang dilanggar harga dirinya).
2.     Appakasiri’-siri’ (Orang yang bikin malu atau membuat aib dalam keluarga, Lingkungan dst).
3.     Tappelaki Siri’na atau Tappelami Siri’na (Orang yang sudah membuang rasa malunya)
4.     Mate Siri’ (Orang yang sudah mati harga dirinya atau sudah tidak punya perasaan malu dalam jiwa orang tsb).
5.     Siri’ – Siri’ (Orang yang punya malu, atau malu-malu)

Ripakasiri’ atau Nipakasiri adalah orang yang dilanggar harga dirinya. Siri’ seperti ini berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ ini sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
Contoh kasus : Seorang lelaki membawa lari seorang anak gadis orang (kawin lari). Maka dalam tradisi orang Bugis Makassar, ini dimaksud ‘Nipakasiri’ pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
Contoh lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
“Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka”. Artinya, hanya karena Siri’ kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.

Appakasiri’-siri’ adalah orang yang bikin malu atau membuat aib dalam keluarga, Lingkungan dan seterusnya. Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Orang Makassar berkata, Punna tena siri’nu anggingrangko siri’. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu atau harga diri, maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu atau harga diri (Siri’).
Contoh : “Ikau tena mentong bua-buanu a’jari tau…angngapai nu’ appakasiri’-siri’ tau toanu.
Artinya : Kaulah orang yang tidak berguna, kenapa kau tega bikin malu orang tuamu / keluargamu.
Tappelaki Siri’na atau Tappelami Siri’na adalah orang yang sudah membuang rasa malunya. Artinya rasa malu seseorang itu sudah hilang, “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya, maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’, ketika berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri untuk membayarnya.
Misalnya: “Punna Teaki nisingara, Teako angngirangi…Tau angngirangaji antu nisingara, saba punna tau nia inranna nampa tena nabayaraki, iyami antu tau tappela siri’ni.
Artinya : Kalau anda tak mau ditagih, maka jangan meminjam/main kredit. Hanya orang yang punya pinjam saja yang ditagih, sebab bila orang punya pinjam/kredit lantas tidak dibayar, maka orang tsb adalah orang sudah kehilangan harga dirinya atau rasa malunya.

Mate Siri’ adalah orang yang sudah mati harga dirinya, atau hilang rasa malunya). Mate Siri’ seperti ini berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya. Nauzubillahi min-dzalik.
Contohnya : “Tenamo pa’ ballena angkullei pabajiki garring tau mateya siri’na, nasaba tau mateya siri’na labbi na olo’-oloka.”
Artinya : “Sudah tidak ada obatnya bagi orang yang mengidap penyakit Mati Harga Dirinya / sudah tiada sama sekali rasa malunya, sebab orang yang sudah tidak ada harga dirinya lebih dari pada binatang.”

Siri’ – Siri’ adalah orang yang punya malu, atau punya perasaan malu-malu. Artinya, perasaan malunya lebih dominan dibandingkan hasratnya ingin mengatakan atau melakukan sesuatu kepada seseorang.
Misalnya : “Sanna erokku ampau bone lalang nyawaku, tapi siri-sirikka rikatte andi”.
Artinya : “Besar sekali hasratku ini untuk mengucapkan isi hatiku kepadamu, namun aku malu-malu mengatakannya kepadamu, duhai adindaku”.


Pacce
Pacce (Bahasa Makassar); Pesse (Bahasa Bugis) arti katanya adalah 1. Pedih, 2. Perih,  3. Pedis, 4. Belas Kasih dan 5. Solidaritas yang kuat
Kata Pacce, bila diuraikan dalam Bahasa Makassar, akan melahirkan banyak pengertian. Pacce adalah rasa solidaritas yang tinggi, bagi suku Bugis disebut “PESSE”. Kata pacce sudah membumi dan tertanam dalam budaya leluhurnya orang Bugis-Makassar. Artinya, orang Bugis – Makassar itu memiliki rasa belas kasihan yang besar dan rasa solidaritas kepada sesamanya sangatlah tinggi. Tidak heran, bila orang Bugis-Makassar rasa gotong royongnya, solidaritasnya, belas kasihnya kepada orang senantiasa kita dapati disetiap lorong kehidupan.
Misalnya :
1.     Bahasa Makassar : “Ikau tena tong paccenu mange ri saribattannu”.  Artinya: “Kau tidak memiliki belas kasihan atau solidaritas yang kuat kepada saudaramu”.
2.     Bahasa Makassar :“Paccena nyawaku anciniki tallasanu ri bori taumaraenga”.  Artinya : Pedihnya atau perihnya hatiku melihat kondisi hidupmu di negeri orang.
3.     Bahasa Bugis : “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatokkong”. Artinya, Antara kau dan aku sama, kita harus saling menyayangi dan saling membantu satu sama lainnya. (ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu).



Siri na Pacce Dalam Bingkai Kebhinnekaan
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang besar dan wilayah yang sangat luas, terdiri dari ribuan pulau, aneka ragam, bahasa, suku bangsa dan budaya. Tidak heran, bila bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berbudaya. Dengan keaneka ragaman budaya tersebut bangsa Indonesia kaya dengan aneka keseniannya.  
Istilah bingkai ke-Indonesia-an artinya “dalam lingkup ke-bhinekaan”. Pengertian Kebhinekaan merupakan salah satu Pilar Kebangsaan, yaitu berbeda-beda tapi tetap satu. Empat Pilar itu adalah 4 unsur penyusunan kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yakni Pancasila, UUD45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, empat pilar ini adalah satu paket pembicaraan untuk mendapatkan feel jiwa yang merdekanya bangsa indonesia, baik jiwa merdeka dalam arti berdikari-berdaulat, maupun jiwa merdeka dalam arti bertoleransi-bersatu.
Berangkat pemahaman kebhinekaan tunggal ika tersebut, melahirkan satu kesepahaman bahwa diantara ribuan budaya yang ada di nusantara, meski berbeda-beda tapi tetap satu yakni Budaya Indonesia, sehingga orang Bugis-Makassar yang memiliki budaya Siri’na Pacce (rasa malu dan harga diri---rasa solidaritas dan belas kasih pada sesama), dapat diartikan sebagai Budaya Indonesia.

 Walau pun secara tekstualnya berbeda dalam konsep pemahaman Siri’na pacce ada di tanah Bugis-Makassar, sebab berbeda dari kultur suku dan bahasanya, akan tetapi bisa jadi secara kontekstualnya Siri’na pacce (yang istilahnya punya harga diri dan malu serta solidaritas).  Penulis yakini, istilah siri’na pacce pasti dimiliki oleh suku lain diluar Suku Bugis-Makassar, hanya konsonan kata yang berbeda. Pasalnya, setiap suku yang memiliki kebudayaan, maka disitu harga diri dan rasa malu bersemayam serta rasa solidaritas dijunjung tinggi, sehingga rasa saling harga menghargai---saling hormat menghormati---tolong menolong, menjadi regulasi (atura main) dalam kehidupan yang dipatuhi sebagai tatanan nilai dan norma-norma hokum untuk tegaknya sebuah kultur atau kebudayaan.

Penulis ingin meminjam istilah Mukti Ali, bahwa sejarah itu bergerak ke arah tujuan tertentu, kesanggupan manusia untuk mengarahkan jalannya sejarah itu adalah arti modern. Untuk menjadi modern sesorang tidak harus hidup dalam lingkungan tertentu, tetapi ia sanggup memilih karenanya manusia dapat menggunakan segala kemungkinan yang terbuka baginya.

Sebuah Puisi ditulis oleh Puji Santoso, peneliti utama bidang sastra pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa :

HARGA DIRI

Ajining dhiri ana lathi (bahasa Jawa)
Ajining raga ana busana

Harga diri ada pada ucapan
Harga wadak ada pada pakaian

Ucapan memegang peranan utama
Siapa saja mereka dapat dipercaya
Bilamana budi bahasa, tutur katanya
Selalu cermat, tepat, dan juga terjaga

Berhati-hatilah dalam hal perkataan
Tidak hanya secara lisan diucapkan
Tetapi juga secara tulis disampaikan
Semua harus dengan kebijaksanaan

Berbicara dan bersikap akan kebenaran
Sampaikanlah dengan cara yang sopan
Supaya tidak menyakitkan dan merugikan
Siapa saja membaca dan mendengarkan


           
Harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah yang dibuat individu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana individu menyukai dirinya sebagai  individu yang mampu, penting dan berharga. Artinya, harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai, cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Bila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, maka perilakunya juga akan tinggi, sedangkan bila harga dirinya rendah, akan tercermin pada perilakunya yang negatif pula.


Sementara itu, ‘Siri’na pacce’ dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika masih kurang menarik bagi pihak-pihak untuk membahas dan memikirkan bagaimana implementasinya, padahal Bhinneka Tunggal Ika memegang peran yang sangat penting bagi negara-bangsa yang sangat pluralistik ini. Dengan bertitik tolak dari pemikiran ini, dicoba untuk membahas makna ‘Siri’na pacce’ dalam perspektif Bhinneka Tunggal Ika dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga ‘Siri’na pacce’ benar-benar dapat menjadi tiang penyangga yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Penulis tidak akan jauh membahas tentang semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkapkan pertama kali oleh mPu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan e Pluribus Unum, semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity in unity, perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah diungkap oleh mPu Tantular lebih dahulu.

Penerapan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasar pada Pancasila yang telah ditetapkan oleh bangsa Indonesia menjadi dasar negaranya. Dengan demikian maka penerapan Bhinneka Tunggal Ika harus dijiwai oleh konsep religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereinitas dan sosialitas. Hanya dengan ini maka Bhinneka Tunggal Ika akan teraktualisasi dengan sepertinya.


KESIMPULAN
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya.

Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.

Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.

Bila setiap warganegara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat dan benar insya Allah, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.

Mengutip sedikit tentang makalah penulis, tentang Budaya Siri’ na Pacce dan Arus Modernisme, bahwa  Modernisasi dapat dimaknai meniru Barat, atau setidaknya mengikuti jejak masyarakat Barat. Hal ini memang fakta-faktanya tetap, yakni desain-desain dan peralatan yang dipakai dalam riset modernisasi adalah dikembangkan di Barat, oleh ilmuan Barat dan terpengaruh oleh cara-cara berfikir Barat. Namun unsur-unsur pengetahun modern yang mula-mula dari Barat dapat ditransfer, diadaptasi tanpa harus menjadi seperti orang Barat, meniru yang berlebihan misalnya: gaya bicara, pergaulan, pola hidup inilah yang sering diistilah dengan westernisasi.

Menurut Prof. Dr Mattulada, siri’ dapat dipandang sebagai salah satu konsep cultural yang memberikan impact aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah laku itu diamati sebagai pernyataan atau perwujuda kebudayaan. Perwujudan dan kebudayaan, bukan lain kenyataan-kenyataan yang lahir dari permanusian alam, untuk manfaat sebesar-besarnya umat manusia.
Suatu konsep cultural, memantapkan diri dalam suatu sistem budaya. Sistem kebudayaan itu sendiri adalah rangkaian sejumlah konsep abstrak yang bersemayam dalam pikiran warga terbanyak suatu persekutuan hidup.

Dalam istilah bahasa arab adalah Siri’na pacce disebut sebagai ADAB. Nabi Muhammad SAW bersabda :“AL-Hayaan Minal Imaani”. (malu itu adalah bagian dari iman).
Menurut para ahli fiqih dan ahli hadits, kata ADAB mempunyai makna dan pengertian yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa pengertian adab adalah menggunakan perkataan, perbuatan, dan hal ihwal yang bagus. Ada pula di antara mereka yang mengatakan bahwa adab adalah meninggalkan sesuatu yang membawa ke­jelekan (aib).
Di samping itu ada yang mengatakan bahwa pengertian adab adalah menghiasi diri dengan hiasan orang-orang yang memiliki keutamaan. Menurut pendapat lain, arti adab adalah tidak bermaksiat kepada Allah dan tidak merusak harga diri. Ada pula yang mengatakan bahwa adab berarti takwa kepada Allah. Jadi, orang yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang beradab.
PENUTUP
“Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka”. Artinya, hanya karena Siri' (malu/harga diri dan kehormatan) kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah Siri' (malu/harga diri dan kehormatan) tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang. Nauzubillahi min-dzalik­---Wallahu Wa’lam
Makalah dipaparkan di Warkop Be Smart Makassar, 05 Februari 2016










Posting Komentar

0 Komentar