Dengan adanya falsafah dan
ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara
mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep Siri’ na Pacce/pesse
bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang
menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya
yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam
berinteraksi.
Oleh : S a f r i M u s t a q i m
BUDAYA
Budaya dalam arti kata
adalah /bu·da·ya/ 1 pikiran; akal budi: hasil --; 2 adat istiadat, 3 sesuatu
mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yang --; 4 sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah; budaya yang salah
satu atau sejumlah unsurnya memiliki kemiripan atau serupa antara satu wilayah
budaya (biasanya mengacu pada batas wilayah kedaulatan negara) dan wilayah
budaya yang lain;
Kata Kebudayaan berasal dari
bahasa Sansekerta, Budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi
atau akal. Artinya, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Dengan demikian budaya dapat
diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal dan cara hidup yang selalu
berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Ada pendapat lain yang mengupas
kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti
daya dari budi.
Menurut definisi Prof. Dr. Koentjoroningrat kebudayaan
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah
kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar, seperti tindakan naluri,
refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia
sedang membabi buta. Bahkan tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri
yang terbawa oleh makhluk manusia dalam gen-nya bersamanya (seperti makan,
minum, atau berjalan), juga dirombak olehnya menjadi tindakan yang
berkebudayaan.
SIRI’
Siri’ dalam arti Bahasa
Makassar (Etimologi) adalah 1. Malu-malu, 2. Hina,/aib, 3. Dengki / iri hati, 4
harga diri / kehormatan, dan 5.
Kesusilaan. Siri’ menurut istilah (Terminologi) adalah seseorang yang memiliki
harga diri dan martabat (kehormatan) akan jati dirinya sebagai manusia yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, Siri’ ibarat bangunan
jiwa yang terdiri dari unsur sentimentality (perasaan halus) dan rasa malu,
yang berdasarkan nilai-nilai luhur manusia, saling menghargai dan menghormati
satu dengan lainnya.
Siri’ pun mengalami
ambiguitas (memiliki beragam makna dan pengertian).
Misalnya :
(1) Ripakasiri’, (2)
Mappakasiri’siri’, (3) Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), dan (4) Mate
Siri’.
Ripakasiri’ adalah Siri’
yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan
martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk
dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
Contoh kasus : Seorang
lelaki membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik
laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga
perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
Contoh lainnya adalah kasus
kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga
korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya
kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas
dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Dalam keyakinan orang
Bugis/Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri’, matinya
adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai “Mate Risantangi” atau “Mate
Rigollai”, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut
santan atau gula. Dan, itulah sejatinya Kesatria.
Tentang ini hal ini, oleh
Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman penjajahan dahulu tidak bisa
mengerti mengapa orang Bugis/Makassar begitu bangga dan secara kesatria
mengakui di depan persidangan pidana bahwa dia telah melakukan pembunuhan
berencana, meski diketahuinya bahwa ancaman pidananya sangat berat jika
dibandingkan dengan pembunuhan biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan
sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP).
Secara logika, memang orang
lain tidak dapat mengerti hal tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham
akan makna Siri’ yang sesungguhnya. Agar dapat mengetahui tentang bagaimana
penting menjaga Siri’ untuk kategori Ripakasiri’, simaklah falsafah berikut
ini.
“Sirikaji nanimmantang
attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na
olo-oloka”. Artinya, hanya karena Siri’ kita masih tetap hidup (eksis), kalau
sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang,
bahkan lebih hina daripada binatang.
Mappakasiri’siri’
adalah Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis
disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak
punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’).
Begitu pula sebaliknya,
“Narekko engka siri’mu, aja’
mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu
(malu-maluin). Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat.
Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-malu
atau malu hati. Hal yang terkait dengan Mappakasiri’siri’ serta hubungannya
dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan
orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.
Dengan dimotori dan
dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takunjunga
bangun turu’ naku gunciri’ gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.”
Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan
tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada
balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar
terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.
Salah satu falsafah Bugis
dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan
“Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo
sipatottong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan
atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang
cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf, maka keluarga yang
lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
Tappela’
Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis), artinya
rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika
seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya, maka si pihak
yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar
utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai
waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya,
itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis atau orang
Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’, ketika berutang tidak
perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri untuk membayarnya.
Mate
Siri’ adalah Siri’yang berhubungan dengan iman. Dalam
pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di
dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini
diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai
bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya
orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma busuk akan tercium di
mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di
tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan
nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia
lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya.
Nauzubillahi min-dzalik.
Pacce
Pacce (Bahasa Makassar);
Pesse (Bahasa Bugis) arti katanya adalah 1. Pedih, 2. Perih, 3. Pedis, 4. Belas Kasih dan 5. Solidaritas
yang kuat
Kata Pacce, bila diuraikan
dalam Bahasa Makassar, akan melahirkan banyak pengertian :
Misalnya :
1. “Ikau
tena tong paccenu mange ri saribattannu”.
Artinya: “Kau tidak memiliki belas kasihan atau solidaritas yang kuat
kepada saudaramu”.
2. “Paccena
nyawaku anciniki tallasanu ri bori taumaraenga”. Artinya : Pedihnya atau perihnya hatiku
melihat kondisi hidupmu di negeri orang.
3.
ARUS
MODERNISME
Istilah “modern” berasal
dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”. Pengertian modern
mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman
purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu
kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri
utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi
(cara bertindak yang teknikal).
Tumbuhnya sains dan
teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan.
Berbicara modern selalu berkaitan dengan masalah ruang dan waktu. Sesuatu bisa
saja dikatakan modern di tempat tertentu, namun belum tentu ditempat lain.
Begitu pula sesuatu bisa dikatakan modern untuk waku yang akan datang. Dan
begitu seterusnya selalu membutuhkan sesuatu yang baru dari tradisi-tradisi
yang lama. Bagi penulis modern mempunyai makna yang relatif.
Namun berbeda ketika
berbicara modernisme dalam arti pemikiran, tentunya tidak bisa dilepaskan dari
alam pikiran Barat, karena akar-akarnya berasal dari perkembangan ilmu filsafat
serta ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat.
Pada awal abad 15-16 muncul
gerakan Renaisance, yaitu gerakan menentang gereja yang dianggapnya telah
membelenggu dan memasung kreatifitas berfikir manusia, yang pada gilirannya
manusia menempati kedudukan sentral dengan kekuatan rasionalnya, dimana pada
masa ini Rene Descrates muncul sebagai tokoh utamanya.
Jika pada abad pertengahan
filsafat mencurahkan perhatian pada hal-hal yang abstrak yang didominasi oleh
religiusitas gereja, maka pada zaman Renaisance perhatian ditujukan pada hal-hal
yang kognkrit, pada alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah.
Dari rasio itulah lahir
kecerahan dalam kehidupan natural manusia, yakni pada zaman Aufklarung pada
abad ke 18, di mana David Hume telah menanamkan puncak pemikiran empirismenya
yang secara tegas menolak kebenaran metafisika dalam aktifitas ilmiah dan terus
merangsang penemuan-penemuan baru, hingga menjadiladang penyelidikan ilmu baru
yang sekuler.
Zaman modern sebenarnya
didorong oleh perkembangan filsafat Barat, yang memberikan fokus pada
pembahasan humanitas, individualism dan kebebasan. Hingga pada akhirnya arah
kecenderungan ini membawa konsekwensi yang mengakibatkan keraguan-keraguan
skiptis. Sebab yang lain dari modernisasi adalah semakin menguatnya
industrialisasi.
Sebaliknya di negara-negara
yang sedang berkembang industrialisasi justru di sebabkan oleh modernisasi. Modernisasi
secara implikatif, merupakan proses yang cenderung mengikis dan menghilangkan
pola-pola lama dan kemudian memberinya status modern pada pola- pola yang baru.
Sementara aspek yang paling mencolok
dari modernisasi adalah beralihnya teknik produksi dari tradisional ke teknik
modern. Pandangan ini berlandaskan pada terjadinya revolusi industri di Barat,
atau berarti modernisasi adalah suatu proses transformasi perubahan bentuk dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.Makna tradisional sendiri
diartikan sebagai pandangan hidup yang pada pokoknya tertutup, kaku dan tidak
mudah menerima perubahan. Sebagai suatu proses yang global, pada perjalanannya
modernisasi yang diterapkan mempunyai implikasi-implikasi dan sering kali
kontra produktif walaupun disebutkan dalam proses modernisasi mencoba mengambil
sesuatu yang positif tanpa mengambil alih nilai-nilai yang telah ada.
Untuk itu Mukti Ali
mengatakan bahwa sejarah itu bergerak ke arah tujuan tertentu, kesanggupan
manusia untuk mengarahkan jalannya sejarah itu adalah arti modern. Untuk
menjadi modern sesorang tidak harus hidup dalam lingkungan tertentu, tetapi ia
sanggup memilih karenanya manusia dapat menggunakan segala kemungkinan yang
terbuka baginya.
Jadi Modernisasi dapat
dimaknai meniru Barat, atau setidaknya mengikuti jejak masyarakat Barat. Hal
ini memang fakta-faktanya tetap, yakni desain-desain dan peralatan yang dipakai
dalam riset modernisasi adalah dikembangkan di Barat, oleh ilmuan Barat dan
terpengaruh oleh cara-cara berfikir Barat. Namun unsur-unsur pengetahun modern
yang mula-mula dari Barat dapat ditransfer, diadaptasi tanpa harus menjadi
seperti orang Barat, meniru yang berlebihan misalnya: gaya bicara, pergaulan,
pola hidup inilah yang sering diistilah dengan westernisasi.
PANDANGAN
ISLAM TERHADAP SIRI’ NA PACCE
Menurut Prof Dr. Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (lebih akrab disebut Buya Hamka) bahwa Siri ‘ yang ada didalam
suku Makassar, Bugis, Mandar, Toraja. Adalah kesadaran harga diri. Yang
kemudian dalam istilah bahasa arab adalah sebagai ADAB. Yang disebut oleh nabi
Muhammad SAW “AL-Hayaan Minal Imaani”. (malu itu adalah bagian dari iman).
Menurut para ahli fiqih dan
ahli hadits, kata ADAB mempunyai makna dan pengertian yang berbeda. Mereka
mengatakan bahwa pengertian adab adalah menggunakan perkataan, perbuatan, dan
hal ihwal yang bagus. Ada pula di antara mereka yang mengatakan bahwa adab
adalah meninggalkan sesuatu yang membawa kejelekan (aib).
Di samping itu ada yang
mengatakan bahwa pengertian adab adalah menghiasi diri dengan hiasan
orang-orang yang memiliki keutamaan. Menurut pendapat lain, arti adab adalah
tidak bermaksiat kepada Allah dan tidak merusak harga diri. Ada pula yang
mengatakan bahwa adab berarti takwa kepada Allah. Jadi, orang yang bertakwa
kepada Allah adalah orang yang beradab.
Sebuah kasus siri’ pada masa
tempo dulu, terlihat tiap-tiap pinggang pada masa itu didapati ada badik.
Hampir semua orang memakai badik, bercelana pendek, berlenso panjang, diatasnya
memakai baju jas. Lalu didapati keterangan beberapa pantangan yang tidak boleh
dilanggar dan kebiasaan- kebiasaan pada orang Bugis-Makassar terutama dari
almarhum Engku Abdul Wahid Gelar Kari Mudo, yang dibuang Belanda ke Makassar
dari Minangkabau pada tahun 1909.
Waktu itu baru satu tahun.
Beliau dibuang karena berontak kepada Belanda di Kamang Bukittinggi. Nasehat
beliau ialah “jangan mengangkat kaki dimuka orang –orang Aceh; jangan menyentak
badik dimuka orang Bugis; jangan dipegang kepala orang Minang dengan tangan
kiri”.
Dan kata Engku Kari Mudo :
“Orang Makassar menamai SIRI’, orang Minang menamai PANTANG.
Punna
takkarrangmi sombalaka’
Tenamo
na kulle ammotere
Manna
kekke sombala’na ri tangnga dolangang
Kualleangi
tallanga na towaliya”
Artinya yaitu:
Bila
layar telah berkembang
Tak
kenal kata pulang atau kembali.
Meski
layar sobek ditengah samudera
Lebih
baik tenggelam daripada pulang atau kembali
Hal tersebut menerangkan
bahwa mati didalam mempertahankan Agama Allah adalah mati yang paling mulia dan
bercita-cita supaya Agama Islam tegak di negeri ini adalah hidup yang berarti.
Walaupun hidup beratus tahun, kalau tidak mempunyai cita-cita, samalah artinya
dengan mati walaupun badan masih hidup.
Artinya, memelihara harga
diri baik didalam sikap hormatnya kepada orang lain ataupun didalam kerendahan
hati dan tawadhu’. Dia bersedia memuliakan orang tetapi dia jangan dihinakan,
dia mau memikul yang berat, menjinjing yang ringan tetapi dia jangan dianggap
rendah. Tidak ada yang lebih berharga dari pada dirinya sebagai manusia.
Disinilah timbul pepatah: Ma’tam papuang timukku, temmatang papuang gajakku (Mulutku
bisa berkata tuan, tetapi kerisku tidak). Atau orang Makassar berucap : Bawaku
ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng ( Hanya mulutku yang bertuan, tetapi
badikku tak mengenal tuan).
Dari empat suku ini
menyisipkan badik pada pinggangnya bukan berarti bahwa dia akan menikam orang
lain melainkan dia akan menjaga siri’nya, menjaga kehormatan dirinya. Apalagi
kehormatan itu yang diganggu oleh orang lain. Itu sebabnya maka menjadi siri’
atau pantang menyentak badik tidak akan ditikamkan.
Tabiat-tabiat seperti ini
bukanlah terdapat pada suku Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja saja tetapi
terdapat pada tiap-tiap suku bangsa di seluruh Indonesia, bahkan terdapat juga
pada bangsa-bangsa lain tahu akan harga diri. Cuma timbul kesalahan, karena
tidak ada pendidikan dan pemeliharaan yang baik. Saya katakan ada pada segala bangsa,
sebab tiap bangsa-bangsa mempunyai siri’.
Pada bangsa Belanda pun ada
siri’. Kita mengenal apa yang mereka sebut Beleideging atau penghinaan, merusak
atau mencemarkan nama baik, seseorang yang merasa nama baiknya dirusak di zaman
dahulu itu, baik meminta Duel dengan orang yang dianggapnya merusak namanya
itu, baik dengan mati pistol atau dengan pedang. Dan dia rela menerima mati
atau kalah dari musuhnya dalam Duel tersebut sebab dengan demikian dia telah
membela harga dirinya.
Ada sebuah cerita dari
Jakarta, seorang tukang patri (tambal logam bocor) yang bernama Idris berasal
dari sebuah negeri Minangkabau. Kemudian berkenalan dengan seorang kapten TNI
berasal dari Jawa Tengah mengupahkan sesuatu barang kepada tukang patri itu.
Menurut penjanjian yang
telah disepakati bahwa setelah tiba waktunya untuk menyerahkan barang-barang
itu kembali, si kapten belum juga datang menjemput barang- barangnya, sehingga
telah lama janji terlampaui. Pada suatu hari diapun datang padahal sudah
terlalu lama dari janji yaitu sudah beberapa bulan berlalu.
Lalu si tukang patri tadi
mengeluarkan barang-barang kapten, tetapi ada sikap dari si kapten itu yang
tidak menyenangkan hatinya. Dan ditunjukkan macam-macam celanya maka
menjawablah si tukang patri sambil mengeluarkan surat perjanjian itu. Dia
berkata bahwa apa saja yang dikehendaki telah dipenuhi oleh si tukang patri
itu. Hanya si kaptenlah yang tidak menepati janji. Mendengar jawab yang
demikian rupanya si kapten salah terima dan dia berkata: “jangan menjawab
begitu kasar kepada saya engkau tahu bahwa saya adalah kapten TNI. Saya banyak
keperluan lain dari pada menjaga janji pada engkau, siapa engkau.”.
Dengan sangat tenang tukang
patri menjawab “mangapa bapak tanyakan lagi pada saya, sedang dari dulu bapak
sudah tahu bahwa saya tukang patri. Hidup saya Cuma makan upah, kalau cocok
harga yah jadi, kalau tidak tidak apa juga.
“Tetapi meskipun saya tukang
patri, saya juga manusia biasa pak. Saya juga punya harga diri, kalau bapak
berjalan lurus berkata benar. Maka Saya akan sengan kepada bapak, saya akan baik
pada bapak kapten” ujar Tukang Patri.
Sialnya, si Kapten ini,
malah sangat marah dan mengangkat tangan hendak memukul si tukang patri. Untung
saja dia tidak membawa pistol. Sontak, tangan si tukang patri mangankat tangan
si kapten yang hendak memukulnya itu dan memutarnya kebawah. Dan untung pula
ditempat itu banyak orang yang dapat memisahkan mereka.
Tetapi si tukang patri masih
sempat bercakap sekali lagi, “karena saudara kapten tidak membawa senjata, biar
saya yang memberi senjata dan berduel kita di sini. Saya menerima halal, bukan
menjual diri”. Mungkin ini disebut oleh nabi Muhammad SAW “AL-Hayaan Minal
Imaani”. (malu itu adalah bagian dari iman).
Tahu harga diri dan pantang dihina
dan didhalimi adalah di antara sifat-sifat dan norma-norma moral utama yang
dibawa oleh islam.
“Kekuatan itu hanyalah bagi Allah,
bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu
tiada mengetahui.” (Al-Munaafiquun 8).
Kesadaran akan harga diri akan
tampak dalam sikap menuntut kebaikan dan menjauhi kejahatan, berpegang pada
sifat-sifat kesatriaan dan cita-cita yang tinggi dan luhur, bebas dari pengaruh
hawa nafsu dan tidak terbelenggu oleh syahwat-syahwat duniawi, tidak tersilau
oleh kemegahan-kemegahan dan pangkat-pangkat yang kosong.
Sifat-sifat yang demikian itulah
yang mengangkat manusia ke tingkat yang layak sebagai makhluk Tuhan yang
termulia, sedang sifat-sifat dan tingkah laku yang bertentangan dengan itu akan
menurunkan derajat manusia dari tingkatnya yang termulia itu ke tingkat
makhluk-makhluk Tuhan yang rendah.
Bersabda Rasulullah saw.:
“Barangsiapa ingin menjadi orang
yang termulia hendaklah ia bertaqwa kepada Allah, dan barangsiapa ingin menjadi
orang yang terkuat hendaklah ia bertawakkal kepada Allah, dan barangsiapa ingin
menjadi manusia terkaya hendaklah ia beranggapan bahwa apa yang ada di tangan
Allah lebih kekal dan lebih pasti dari apa yang ada di tangannya
sendiri.”
Kemuliaan dan kewibawaan seseorang
hanya dapat dicapai dengan menunjukkan sikap kesatria melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik dan menjauhi tindakan-tindakan yang buruk dan
tercela. Allah swt. suka dari pada hamba-Nya agar menjadi orang yang tahu harga
diri penuh dengan cita-cita dan angan-angan yang luhur.
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal yang luhur dan mulia dan membenci hal-hal
yang keji dan rendah.”
Di antara tanda-tanda tahu harga
diri, ialah semangat membela kebenaran, menolak kedzaliman, enggan menerima
penghinaan yang dilawannya dengan segala jalan yang patut dan diterima oleh
akal.
Maka terhadap masalah siri’
yang menjadi problema di Bugis Makassar, Mandar dan Toraja sekarang ini dan
pada suku-suku bangsa Indonesia pada umumnya, terutama pada kaum muslim
bukanlah menghapuskan siri’ melainkan mempertahankannya menurut budi bahasa
yang tinggi dan luhur. Menurut hukum mental dan moral. Mental menurut penilaian
masyarakat , moral menurut penilaian hidup beragama, sehingga seluruh bangsa
Indonesia dalam jabatan apa saja harusnya mempunyai siri’ yang sejati. Kalau
siri’ yang sejati tidak ada niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan saja
penjajahan dari bangsa asing bahkan dari golongan yang kuat kepada yang lemah,
dari pada golongan yang merasa dirinya berkuasa kepada golongan yang tidak
mempunyai kuasa apa-apa dari keadilan sejati dan kebenaran sejati.
Maka kalau tidak berani lagi
mempertahankam keadilan dan kebenaran berartilah siri’ telah punah, dan
punahlah kemerdekaan. Alangkah baiknya kalau cita-cita yang lebih tinggi.
Misalnya untuk kemuliaan tanah air dan bangsa kita dan ketinggian agama kita.
Sehingga sepadanlah harga kematian dengan harga yang dipertahankan.
PANDANGAN
BUDAYA
Prof. Dr Mattulada (seorang
tokoh kebudayaan terkemuka) dan selain menjabat Dekan Fakultas Sastera UNHAS di
Ujung Pandang, beliaupun adalah Ketua Dewan Kesenian Makassar (DKM). Pada medio
tahun 1981, Prof.Dr.Mattulada dilantik menjadi Rektor Universitas Tadulako di Palu
Sulawesi Tengah. Salah satu tulisannya tentang Siri’ dan Pacce ini.
Menurut Mattulada, siri’
dapat dipandang sebagai salah satu konsep cultural yang memberikan impact
aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah laku itu diamati sebagai
pernyataan atau perwujuda kebudayaan. Perwujudan dan kebudayaan, bukan lain
kenyataan-kenyataan yang lahir dari permanusian alam, untuk manfaat
sebesar-besarnya umat manusia.
Suatu konsep cultural, memantapkan
diri dalam suatu sistem budaya. Sistem kebudayaan itu sendiri adalah rangkaian
sejumlah konsep abstrak yang bersemayam dalam pikiran warga terbanyak suatu
persekutuan hidup.
Cara melihat seperti itu
tentu saja tidak salah, hanya saja kurang lengkap.,terutama apabila hendak
mengamatinya dari sudut konfigurasi kebudayaan . konfigurasi kebudayaan,akan
melihatnya dari totalitas atau keutuhan budinya manusia yang terwujud dalam
tindakan –tindakan berpola. Jadi tidak melihatnya dari sudut kejadian yang
berpisah, sesuatu itulah hendaknya dilihat dalm rangkaian suatu sistem yang
berhubung-hubungan dengan sekalian sub-sistem yang mendukungnya.
Demikian pula hendaknya
Siri’ itu dilihat dalam suatu sistem budaya orang Bugis-Makassar, agar dapat
memahaminya secara lebih utuh.
Kebudayaan yang dimaksud di
sini adalah pemantapan erah pertumbuhan kebudayaan yang mempunyai dimensi lebih
luas mendukung ketahanan Nasional Bangsa Indonesia dalam membangun dirinya sebagai
bangsa yang kuat dan besar dalam pergaulan antar bangsa.
Dari sudut inilah relevansi
konsep Siri’ orang Bugis- Makassar dibicarakan karena
diperkirakan dapat dijadikan
daya dorong yang kuat dan berguna bagi perkembangan
kebudayaan di
Indonesia,setidak-tidaknya bagi orang Indonesia yang hidup dalam
masyarakat dan kebudayaan
Bugis-Makassar.
Kalau itu kita jabarkan
menurut isinya ,maka itulah sesungguhnya makna kebudayaan pada orang
Bugis-Makassar. Isi Pangngadaeraeng atau hakekat kebudayaan orang
Bugis-Makassar, sepanjang pengetahuan kita wariskan oleh sejarah sampai dengan
permulaan abad ke XX terdiri atas lima anasir yang anatara satu sama lainnya
sebagai satu sistem merupakan panduan yang utuh.
Unsur-unsur itu ialah:(1).
Adek,(2).Bicara,(3) Warik,(4) Rapang, dan (5) Sarak.
Kebudayaan Eropa modern
umpamanya menjadikan kebebasan sebagai inti perkembangan dari kehidupan
kebudayaan Eropa. Ethik Kristen, menurut Max Weber Sosiolog yang kenamaan itu
dalam wujud Shame Culture menjadi inti dorongan lahirnya kemajuan peradaban
dunia barat.
Maka apabila mengamati
dengan seksama setiap dambaan hati nurani orang Bugis- Makassar, yang memahami
siri’ sebagai motif yang amat dalam dari segenap gerak hidupnya berpikir,
merasa dan berprakarsa, maka pada hemata kita siri’ itu, tidak lain daripada
inti, ethos atau alat integrasi dan pangngadereng mereka, siri’ itulah inti
kebudayaan orang Bugis Makssar. Sebagai inti kebudayaan, niscaya dari siri’
itulah berkembang segenap isi kebudayaan berupa lima anasir yang disebut di
atas.
KESIMPULAN
Teori ini, kita coba gunakan
pada proses degenerasi Pangngadereng/Pangngadakkang orang Bugis- Makassar, yang
dialaminya dalam sejarah selama kurang lebih seabad berselang. Siri’ sebagai
inti Pangngadereng/Pangngadakkang itu menyatakan diri dengan amat keras pada
salah satu isi Pangngadereng/Pangngadakkang yang masih mampu bertahan. Sejarah
kebudayaan orang Bugis-Makassar dalam arti sejarah keutuhan Pangngadereng/Pangngadakkang,
sudah berakhir sejak negeri ini mengalami keruntuhan dan kehilangan
kemerdekaannya.
Secara sederhana dapat
dikatakan unsur Adek, Bicara, dan Sarak dalam arti sesungguhnya sudah berakhir
atau kehilangan peranannya yang amat menentukan. Unsur satu-satunya yang masih
dapat hidup atau berkelanjutan dalam kepincangan adalah Warik, yaitu unsur Pangngadereng/Pangngadakkang
yang mengatur jenjang kehidupan dalam pembinaan keluarga, diantaranya soal
kawin-mawin. Karena inilah satu-satunya unsur Pangngadereng/Pangngadakkang yang
masih dipunyai dan masih dapat dikuasai, maka ke dalam unsur itu tercurah
segenap kepekaan kehidupan orang Bugis-Makassar. Unsur itu dijaga sebagai batas
terakhir dari milik peradaban yang ada, karena unsur lainnya belum lagi membawa
nilai ganti yang setara dengan yang hilang.
Intinya adalah Siri’ yang
merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah
sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Siri’ na
Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari
karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu
sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni
gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia.
Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ olo’e (
seperti binatang ). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo ( karena malu kita
hidup ).
Dengan adanya falsafah dan
ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara
mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
Konsep Siri’ na Pacce/pesse
bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang
menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya
yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam
berinteraksi.
Arus modernisme tentu sangat
memberikan pengaruhnya yang sangat signifikan terhadap budaya Siri’ na Pacce,
sebab mau atau tidak kemajuan teknologi dan perkembangan industri serta peranan
dunia pendidikan sangat mempengaruhi adanya pergeseran nilai dan budaya siri’
na pacce. Kepadatan penduduk dan tuntutan hidup, serta persaingan bisnis pasti
memberikan dampak yang sangat besar bagi nilai-nilai siri’ na pace.
Mampukah siri’ na pace
bertahan ditengah arus modernism tersebut? Inilah yang menjadi PR besar bagi
generasi muda sekarang ini. Apakah mereka masih mengetahui, memahami,dan
mengamalkan nilai siri’ na pace dalam dirinya, keluarga dan lingkungannya?
Kalau masih ada, maka seberapa persenkah jumlahnya, berapa kualitatifnya dan
berapa kuantitafnya?
Solusi sederhana harus
membangun wadah pencinta “Siri’ na Pacce” dalam koridor pendidikan, politik,
hokum dan berbangsa serta bernegara, agar budaya siri’ na pacce tetap lestari
dan menjadi kearifan lokal.
Aruna
Tubarania ri Gowa
Aru (penyataan sumpah
setia)
Sombangku, pammopporang
mama’ Rajaku/ tuanku,
aku mohon ampun beribu ampun
Jaidudu sombangku!!! Di
hadapan yang mulia
Ri dallekang la’biri’ta Di
atas tahta nan tinggi
Ri empoang matinggita Di
sisi singgasananya
Ri sa’ri karantuanta Aku
bersungguh-sungguh mengucapkan ini karaeng
Satuli – tuli kanangku
Karaeng Inilah
pernyataan tulusku tuan/raja.
Panngainna laherekku Kecintaanku
padamu tuan
Pappatojenna batengku Pernyataan
yang tulus Lahir Batin
Berangja’ kunipate’ba’ Akulah
Parang/pedang yang dipakai menebas
Pangkuluk kunisoeang Kapak
yang siap diayunkan
I katte anging karaeng Karaeng
laksana angin
Na i kambe leko kayu dan
kami daun kayu
I katte je’ne karaeng karaeng
laksana air
Na i kambe batang nammanyuk dan kami batang
yang hanyut
I katte jarung karaeng karaeng
laksana jarum
Na i kambe bannang panjaik sedang kami
kelindannya
Irikko anging berhembuslah
wahai angin
Na marunang leko kayu supaya
daun kayu berguguran
A’Solongko je’ne mengalirlah
wahai air
Na mammanyu’ batang kayu supaya hanyut
batang kayu
Ta’leko jarung lalulah
jarung
Namminawang bannang panjaik supaya kelindan
mengikutimu
Ma’kana mamaki mae bertitalah
wahai raja
Na i kambe manggaukang nanti kami
yang melaksanakannya
Mannya’ bu’ mamaki mae utarakanlah
keinginannya
Na i kambe makpakjari nanti
kami yang akan membuktikannya
Punna sallang takammaya seandainya
terbukti aku mengingkari
Aruku ri dallekanta janji
yang kuikrarkan dihadapan raja ini
Pangka jerakku maka
palanglah kuburku
Tinraki bate onjokku pasaklalah
jejakku
Pinra arengku gantilah
namaku
Piassalaki jari-jariku kutuklah
keturunanku
Pauwanngi ri anak ribokoa wasiatkan
kepada generasi mendatang
Pasangi ri anak tanjari amanatkan
kepada anak yang belum lahir
Tuma’kanaya tentang
orang yang hanya mampu berkata
Na taena nappa’rupa namun
tidak dapat membuktikannya
Sikammajinne aruku ri
dallekanta Karaeng demikianlah aru saya dihadapan Baginda Dasi na
dasi
na nitarima paknganroku semoga permohonanku
dikabulkan
ri Allah Ta’ala. karena Allah
Dalam Pandangan Budaya Bugis Makassar, dengan kaitannya kasus BOM depan Sarinah Jakarta, disebut dengan Mate Siri’ adalah Siri’yang berhubungan dengan iman.
Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun.
Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat.
Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat.
Mereka yang menjadi Teroris, Koruptor, Jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, Pandangan Budaya Siri' na pacce melihatnya sebagai orang yang tak berguna lagi. Bahkan digambarkan bahwa sampah masih punya manfaat dapat dijadikan kompos, tapi orang yg sdh hilang rasa malunya dan harga dirinya tidak punya arti apa-apa lagi, baik dihadapan Allah SWT maupun seluruh makhluk-Nya.
Makanya jangan pernah takut kepada pelaku kemungkaran seperti itu, orang yang tidak bersalah dan berdosa di bunuh dan dizalimi. Sekiranya, mereka punya iman atau harga diri, maka tidak akan pernah terjadi aksi bom yang merugikan orang lain. Sebab semua orang punya iman atau harga diri yang harus kita hargai dan hormati. Sekalipun itu, berbeda idelogi atau agama. Karena agama pun menghargai hak asasi manusia bahkanmengajarkan kepada semua penganutnya memanusiakan manusia.
Nah, ketika ada orang yang begitu berani melanggar harga diri dan kehormatan orang lain, bahkan berani melakukan kezaliman, maka orang itu harus membayar mahal, apa yang telah dia lakukan. Konsekwensinya adalah harus dikubur hidup-hidup.
“Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka”. Artinya, hanya karena Siri' (malu/harga diri dan kehormatan) kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah Siri' (malu/harga diri dan kehormatan) tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.
Nauzubillahi min-dzalik.
0 Komentar