Oleh : Amna Mawahidah Az-Zahra
Perbedaan antara Ru'yatul Hilal (Melihat Hilal) dengan Hisab (Perhitungan Kalender)
POLEMIK tentang penetapan Awal Bulan Ramadhan sudah sejak lama terjadi, bahkan setiap tahunnya umat Islam di Indonesia sudah menjadi pemandangan yang unik dalam menghadapi bulan suci Ramadhan.
Banyaknya ulama di Indonesia membuat khazanah pemikiran dan pendapat pun beragam. Tidak heran, apabila setiap ulama memiliki pendirian yang disebutnya sebuah 'Rahmatan lilalamin',
Pada prinsipnya, awal Ramadhan dapat ditetapkan, apabila pada tanggal 29 Bulan Sya’ban (orang Jawa menyebutnya Bulan ‘Ruwah’), pada waktu sore hari, saat matahari tenggelam, kemudian terlihat hilal (bulan sabit) oleh seorang yang adil untuk bisa diambil persaksiannya, kemudian ditetapkan dan diumumkan oleh Pemerintah, bahwa esok hari adalah tanggal 1 Ramadhan.
Di Indonesia, hal ini biasa disebut dengan istilah ‘Sidang Itsbat’ yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Dalam hal ini adalah Kementerian Agama Republik Indonesia, kemudian hasilnya segera diumumkan melalui media.
Pelaksanaan Ru’yatul Hilal tersebut berdasarkan firman Allah,
(( فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ))
“Barangsiapa diantara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu!” [QS. Al Baqarah, 185]
Dan sabda Nabi shallallahu 'alayhi wasallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah jika melihat hilal dan berbukalah (berlebaran) jika melihatnya (hilal)!” [HR. Al Bukhari (1909) dan Muslim (1081)]
Ikmal (Menyempurnakan Bilangan Bulan Sya’ban Menjadi 30 Hari)
Apabila pada tanggal 29 Bulan Sya’ban tersebut, pada waktu sore hari, saat matahari tenggelam tidak terlihat hilal (bulan sabit) oleh seorangpun yang diambil persaksiannya, maka bilangan hari Bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari, sehingga ditetapkan dan diumumkan oleh Pemerintah, bahwa esok hari adalah tanggal 30 Sya’ban, sedangkan tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari berikutnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alayhi wasallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Berpuasalah karena melihatnya (Hilal Ramadhan) dan berbukalah (berlebaran) jika melihatnya (Hilal Syawwal), kemudian jika hilal tidak tampak atas kalian, sempurnakanlah bilangan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari!” [HR. Al Bukhari (1909)]
Puasa Ramadhan dan Hari Raya Bersama Pemerintah
Berikutnya, kaum muslimin harus mendengar dan taat terhadap ketetapan pemerintah tersebut, mengamalkan perintah Allah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu ...!” [QS. An Nisaa` : 59]
Dan sabda Nabi shallallahu 'alayhi wasallam,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذاَ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk taat (kepada pemimpin), baik ia senang, atau benci (perintah tersebut), selama ia tidak diperintahkan kepada maksiat! Apabila ia diperintahkan kepada maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat (dalam hal tersebut).” [HR. Al Bukhari (7144)]
Bahkan, demikian juga orang yang telah melihat hilal, kemudian Pemerintah tidak mengakuinya, sehingga menetapkan untuk menyempurnakan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari, maka orang tersebut hendaknya tetap berpuasa bersama kaum muslimin sesuai ketetapan Pemerintah tersebut berdasarkan hadits, “Puasa adalah hari kalian (kaum muslimin) berpuasa!” [HR. At Tirmidzy]
Bolehkah menentukan awal ramadhan dengan hisab (perhitungan kalender) ?
Ilmu hisab dapat digunakan sebagai petunjuk yang membantu untuk memperkirakan arah dan waktu, akan tetapi tidak bisa digunakan sebagai pengganti ru’yah dalam menentukan awal Bulan Ramadhan, maupun awal bulan-bulan lainnya.
Namun demikian, sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin menjadikannya sebagai pengganti Ru’yatul Hilal dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya, bahkan walaupun akhirnya mereka menyelisihi ketetapan Pemerintah dan menyebabkan perpecahan persatuan kaum muslimin dalam hal tersebut.
Sejumlah pendapat yang berbeda,
Diantara pendapat adalah firman Allah,
(( هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ))
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” [QS. Yunus, 5]
- Pada dasarnya Ayat di atas memang menjelaskan bolehnya mempelajari Ilmu Hisab, akan tetapi tidak ada perintah menggunakan hisab untuk penentuan awal Ramadhan. Sebagaimana penjelasan sebelumya, bahwa Ilmu Hisab hanya digunakan sebagai penunjuk yang membantu dan menguatkan saja, bukan sebagai pengganti Ru’yatul Hilal.
Pendapat lain berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam,
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (mengakhiri Puasa Ramadhan) sampai kalian melihatnya. Jika kalian tertutupi tatkala melihatnya, maka فَاقْدِرُوا لَهُ .” [HR. Al Bukhari (1906) dan Muslim ( 1080)]
Mereka menerjemahkannya : ‘Perkirakanlah bulan tersebut’, yakni dengan Ilmu Hisab.
Jika ditelusuri terjemahan kata ‘perkirakanlah’ tersebut adalah keliru, yang benar adalah ‘tetapkanlah’!
Ini sesuai dengan riwayat-riwayat yang lain, karena riwayat yang satu menafsirkan riwayat yang lainnya. Diantara riwayat-riwayat yang sangat jelas menafsirkan hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
فَإِنْ غُبِىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika hilal tertutupi (sehingga tidak tampak), maka sempurnakanlah bilangan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari!” [HR. Al Bukhari (1909)]
Sebagai contoh, seperti firman Allah,
(( وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ))
“Adapun bila Rabbnya mengujinya, lalu فَقَدَرَ rezkinya (sedikit), maka dia berkata, ‘Rabbku menghinakanku.’.” (QS. Al fajr :16)
فَقَدَرَ artinya ‘menetapkan’.
Pendapat selanjutnya mengungkapkan :
“Kenapa dalam penggunaan jadwal shalat yang notabene dengan Ilmu Hisab diperbolehkan, sedangkan penentuan awal Ramadhan harus dengan Rukyatul Hilal ?”
- Hal tersebut, karena perintah shalat pada waktunya tidak harus melihat keadaan langit, berbeda dengan penentuan awal Puasa Ramadhan yang disyaratkan dengan melihatnya.
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
“Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (mengakhiri Puasa Ramadhan) sampai kalian melihatnya!” [HR. Al Bukhari (1906) dan Muslim (1080)]
Selain itu, kaum muslimin juga telah bersepakat tentang bolehnya penggunaan Ilmu Hisab untuk menentukan masuknya waktu shalat, berbeda dengan awal dan akhir puasa, justru terdapat ijma' tentang tidak bolehnya menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan ramadhan.
Diantara perbedaan lainnya adalah apabila cuaca mendung dan perubahan matahari tidak bisa kita ketahui tentu kita tetap shalat pada hari itu juga, berbeda dengan penentuan awal Ramadhan, jika hilal tidak terlihat karena terhalangi mendung, kabut atau lainnya, maka kita wajib menggenapkan Bulan Sya'ban menjadi 30 hari, karena hal ini adalah wasiat dari Nabi shallallahu 'alayhi wasallam. Dimana Beliau shallallahu 'alayhi wasallam bersabda,
فَإِنْ غُبِىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika hilal tertutupi (sehingga tidak tampak), maka genapkanlah Bulan Sya’ban menjadi 30 hari!” [HR. Al Bukhari (1909)]
Kesimpulan
Marilah kita bersatu, jangan terpecah belah, janganlah tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka masing-masing, tinggalkan fanatisme golongan!
Renungkan firman Allah dalam Surat Al Mu’minun ayat 52 – 53 :
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku! Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”
Semoga Perbedaan ini menjadi Rahmat bagi umat Islam, sehingga ukhuwah Islamia menjadi kokoh dalam membangun umat dimasa akan datang, amin!
(Penulis adalah pelajar tinggal di Kota Makassar)
0 Komentar