BOOMING HOTEL DI MAKASSAR - Bencana atau Peluang?

USAHA perhotelan di Kota Makassar dalam tiga tahun terakhir meningkat pesat. Pertumbuhan industri pariwisata dan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) menjadi magnet bagi pemilik modal untuk menanamkan uangnya dalam bisnis jasa ini.

Hasilnya, bisa dilihat dalam beberapa tahun terakhir, puluhan hotel berbintang menjulang tinggi dan menawarkan kemewahan. Kue bisnis ini tidak akan cukup ketika dibagi habis karena peminatnya cukup banyak. Ibarat jamur di musim hujan, hotel mulai dari kelas melati hingga berbintang dengan mudah ditemukan. Tidak hanya di lokasi sekitar objek wisata atau pusat kota, namun juga terselip di tengah permukiman padat penduduk. Penerbitan izin seakan tidak lagi memperhatikan peruntukkan tata ruang wilayah.

Namun, disisi lain, meningkatnya investasi hotel menjadi berkah bagi Pemkot Makassar. Setiap tahun, sektor ini menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp105 miliar per tahun dan terus meningkat. Hanya saja, kondisi ini membuat pengusaha yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel uring-uringan. Alasannya, tidak hanya bertentangan dengan tata ruang yang ada, namun hotel yang menjamur justru berpotensi mematikan usaha tersebut.

“Sebaiknya pengeluaran izin pembangunan hotel tidak hanya mengedepankan investasi yang masuk, tapi juga memperhatikan analisis kebutuhan sesungguhnya berapa hotel yang laik dibangun di Makassar dengan segala fasilitas kamar yang disiapkan,” ujar Akademisi dari Akademi Pariwisata (Akpar) Makassar, Dr Farid Said kepada KORAN SINDO. Farid menilai, kegelisahan yang dilontarkan sejumlah pengusaha hotel merupakan hal yang wajar jika mengacu pada kondisi realyang ada.

Jumlah hotel yang beroperasi terus meningkat. Sebaliknya, tingkat okupansi justru menukik tajam. Kondisi ini, kata dia, akibat tidak adanya kebijakan pemerintah untuk mengendalikan investasi di sektor perhotelan dengan mempertimbangkan kondisi yang terjadi saat ini. Farid yang juga Ketua Jurusan Manajemen Perjalanan Akpar Makassar ini mengungkapkan, berdasarkan data BPD-PHRI Sulsel, pada Juni 2013, okupansi hotel hanya 5%. Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan pertumbuhan hotel yang mencapai 65%.

Kondisi real dapat dilihat dari tren pertambahan jumlah kamar yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Jika pada 2011 hanya 5.525 kamar, bertambah 1.393 kamar atau tumbuh 25% pada 2012. Untuk 2013, jika mengacu pada jumlah hotel yang sudah terbangun dan sedang dalam proses sebanyak 33 hotel maka akan ada tambahan 4.468 kamar atau terjadi peningkatan 65%.

“Paket MICE itu bisa digabung dengan paket city tour agar tamu tertarik datang ke Makassar dan mengisi kamar hotel yang ada mengingat pengusaha selama ini hanya bertumpu di sektor MICE,” ungkapnya. Kalau ini bisa dikelola dengan maksimal, sebenarnya tidak menjadi soal bagi pengusaha terhadap okupansi hotel. Hanya memang, perlu dilakukan antisipasi agar arah yang bisa menimbulkan persaingan usaha melalui jorjoran penetapan tarif hotel seperti yang terjadi di Manado, Bandung dan Bali tidak terulang di Makassar.

Berbeda dengan Farid Said. Ketua Kantor Perwakilan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Makassar, Abdul Hakim Pasaribu justru menilai, kompetisi perhotelan justru membuat pengusaha berlomba-lomba melakukan inovasi demi memikat tamu. “Tentu mereka akan semakin memperbaiki pelayanan dan meningkatkan fasilitas yang tentu menguntungkan bagi konsumen, dengan asumsi hotel yang tidak dapat memberikan jaminan layanan itu pasti akan ditinggalkan konsumennya,” terangnya.

Menurutnya, kekhawatiran akan adanya persaingan adalah hal yang wajar dalam dunia usaha. Sebaliknya, lanjut dia, yang perlu dijaga adalah upaya kartel pengusaha hotel dengan serentak menaikkan harga hotel. Sementara itu, Pengusaha Hotel Makassar Arwan Tjahjadi mengakui, banyaknya bermunculan usaha hotel di Makasar menandakan kondisi dan iklim usaha di daerah ini sangat baik. Sehingga membangun pencitraan yang positif pula terhadap Makassar.

“Kalau ada kekhawatiran okupansi menurun semuanya bergantung pada musim kunjungan, seperti high season dan low season. Kalau low seasontentu pengusaha dituntut menciptakan hal menarik untuk memicu kedatangan tamu ke hotel mereka,” papar Owner Losari Group Indonesia ini.

Koran-Sindo - Senin 11 November 2013

Posting Komentar

0 Komentar